I.
PENDAHULUAN
Amiloidosis merupakan
penyakit familial yang disebabkan oleh adanya deposit protein fibril
ekstraselular dengan karakteristik β-pleated
sheet conformation. Penyakit ini bermanifestasi pada beberapa organ dalam
tubuh manusia. Organ ginjal merupakan manifestasi yang paling sering dijumpai
dan memberikan kontributor mayor dalam hal morbiditas pasien. Amiloidosis
pertama kali ditemukan oleh Rudolph Virchow pada tahun 1854, dan pada tahun
1971 pertama kali ditemukan adanya deposit protein amiloid monoclonal light chain. Saat ini, dengan adanya kemajuan teknologi,
pemeriksaan mass spectrometry-based
proteonomics sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan tipe dari
amiloid protein, sampai saat ini, sudah hampir 30 protein-protein amiloidogenik
yang sudah teridentifikasi.1-3
Amiloidosis merupakan penyakit yang sangat jarang dan tidak
terdiagnosis. Setiap tahun, diperkirakan 50.000 orang di dunia terkena penyakit
ini, dimana di Amerika bagian Utara sendiri sekitar 3.000 orang. Angka kejadian penyakit ini di Indonesia
sangat langka dan yang tercatat didapatkan amilodosis lokal pada kulit, yaitu
liken amiloidosis yang telah dilaporkan
oleh Harahap dan Hutapea (1970) di Medan. Terdapat 11 penderita liken amiloidosis
yang terdiri dari 3 pria dan 8 wanita dengan rentang umur 24 tahun sampai
dengan 59 tahun.4 Djuanda dan kawan-kawan (1988) menemukan 78 kasus
liken amiloidosis yang terdiri dari jumlah 7 pria dan 71 wanita dengan rentang
umur 14 tahun sampai 66 tahun.5 Insidensi dari amiloidosis sendiri diperkirakan sekitar 1/5
didapatkan dari penyakit multiple myeloma,
dan insidensinya hampir menyerupai insidensi penyakit Hodgkin atau Chronic Myelogenous Leukemia. Akibat
dari sangat jarangnya penyakit amiloidosis ini, mahasiswa kedokteran dan para
dokter juga sangat jarang menjumpai penyakit ini di praktek. Terlebih lagi,
akibat kondisi penyakit ini kadang tidak spesifik dan sering kali salah sangka dan
dianggap penyebabnya dari penyakit lain seperti penyakit yang
berasal dari jantung atau paru. Sehingga, ada kemungkinan bahwa prevalensi dari
penyakit amiloidosis ini lebih besar jumlahnya daripada yang diperkirakan
sekarang.6
Referat ini akan membahas mengenai tipe, patogenesis, gambaran
klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan serta prognosis dari penyakit
amiloidosis.
II.
TIPE
AMILOIDOSIS
Tipe dari
amiloidosis ditentukan dari prekrusor protein tersebut yang mengalami misfolding menjadi deposit fibril-fibril
amiloid. Klasifikasi terkini yang ada sekarang adalah berdasarkan kimia
material dari amiloid tersebut, menggunakan huruf kapital awalan A untuk
amiloidosis, kemudian diikuti huruf kapital yang merupakan huruf awal dari
prekrusor protein tersebut, contohnya: light-chain
amiloidosis diklasifikasikan sebagai amiloidosis AL, heavy-chain amiloidosis diklasifikasikan sebagai amiloidosis AH,
serum A protein amiloidosis diklasifikasikan sebagai amilodosis AA. Saat ini, sudah lebih dari 30
protein-protein yang membentuk fibril-fibril amiloid yang sudah dikenali.7
Tabel 1 Tipe
Amiloidosis8
Tipe
|
Protein
Fibril
|
Singkatan
|
Klinis
|
Sistemik
|
Light chain
immunoglobulin
|
AL
|
Gangguan
Sel Plasma
|
Sistemik
|
Heavy chain
immunoglobulin
|
AH
|
Gangguan
Sel Plasma
|
Sistemik
|
Serum
Amiloid A
|
AA
|
Inflamasi
terkait amiloidosis
|
Sistemik
|
Transthyretin
|
ATTR
|
Amiloidosis
familial, amilodosis kardiak senilis
|
Sistemik
|
Beta2-microglobulin
|
Abeta2M
|
Amiloidosis
terkait dialisis
|
Sistemik
|
Apoliporpotein
AI
|
AapoAI
|
Amiloidosis
familial
|
Sistemik
|
Apolipoprotein
AII
|
AapoAII
|
Amiloidosis
familial
|
Sistemik
|
Fibrinogen alpha
chain
|
AFib
|
Amiloidosis
familial
|
Sistemik
|
Lisosim
|
ALys
|
Amiloidosis
familial
|
Sistemik
|
Gelsosin
|
AGel
|
Amiloidosis
familial (Finlandia)
|
Sistemik
|
Cystatin
C
|
ACys
|
Amiloidosis
herediter (Islandia)
|
Sistemik
|
Prekrusor
protein ABri
|
ABri
|
Amiloidosis
familial (Inggris)
|
Lokal
|
Prekrusor
protein ADan
|
ADan
|
Amiloidosis
CNS familial (Denmark)
|
Lokal
|
Protein
prion
|
AprP
|
Creutzfeldt-Jacob
disease, Gerstmann-Strȁussler-Scheinker disease, fatal familial insomnia
|
Lokal
|
Prekrusor
protein beta
|
Aβ
|
Alzheimer syndrome,
Down syndrome, hereditary cerebral hemorrhage with amyloidosis (Belanda)
|
Lokal
|
Lactoferrin
|
ALac
|
Amiloidosis
kornea
|
Lokal
|
Kerato-epithelin
|
Aker
|
Amiloidosis
kornea herediter
|
Lokal
|
Calcitonin
|
ACal
|
Karsinoma
tiroid meduler
|
Lokal
|
Islet Amyloid
Polypeptide (Amylin)
|
AIAPP
|
Insulinoma,
Diabetes Melitus tipe 2
|
Lokal
|
Atrial Natriuretic
Factor
|
AANF
|
Isolated atrial
amyloidosis
|
Lokal
|
Prolactin
|
Apro
|
Pituitary
prolactinomas
|
Lokal
|
Lactadherin
|
AMed
|
Amiloidosis
aorta pada orang tua
|
Lokal
|
Galectin 7
|
AGal7
|
Amiloidosis
kulit
|
Lokal
|
Corneodesmosin
|
ACor
|
Cornified epithelia,
amiloidosis
folikel rambut
|
Lokal
|
Semenogelin 1
|
Asem1
|
Amiloidosis
vesicular seminalis
|
CNS = Central Nervous System
III.
PATOGENESIS
Patogenesis dari penyakit
amiloidosis ini melibatkan suatu kompleks yang saling mempengaruhi dan terkait
satu sama lain antara biokimiawi, genetik, lingkungan dan faktor-faktor
biologis lain yang menyokong suatu tahapan terjadinya penyakit ini mulai dari
terbentuknya deposit dari amiloid sampai terjadinya disfungsi organ. Namun,
masih banyak pertanyaan yang ditujukan pada para ahli dalam menyamakan persepsi
bagaimana mekanisme secara detail terjadinya penyakit amiloidosis ini. Terdapat
tiga hal yang krusial dan proses yang saling tumpang tindih pada penyakit
amiloidosis ini: bagaimana prekrusor
protein-protein tersebut berubah bentuk dari struktur alaminya dan membentuk
fibril-fibril amiloid, faktor–faktor apa yang mempengaruhi dan bagaimana
deposit fibril tersebut membuat kerusakan sel dan jaringan yang berakhir dengan
disfungsi organ.9
Berdasarkan
mekanisme dasar terbentuknya, protein amiloid dapat dibagi menjadi empat
kategori: (1) protein dengan kecenderungan intrinsik membentuk fluktuasi yang
lebih lanjut dan meningkat seiring bertambahnya usia, contohnya: Transthyretin; (2) protein yang mana
meskipun rentan dalam mengalami denaturasi partial dan agregrasi sendiri,
normalnya tidak membentuk deposit amiloid karena kadar konsentrasi serum yang
rendah, tetapi jika kadar konsentrasi serum yang tinggi secara persisten, dapat
membentuk deposit, contohnya: β2-microglobulin;
(3) protein yang mana dalam konversi membentuk fibril akibat adanya mutasi. Pada
protein tertentu, mutasi mengakibatkan terjadinya pemecahan proteolitik yang
melepaskan suatu fragmen polipeptida yang memiliki kecenderungan tinggi
membentuk agregasi fibrilar; (4) protein yang mana akibat adanya baik mutasi
dan peningkatan konsentrasi serum, keduanya membentuk deposit amiloid, seperti
pada light chain immunoglobulin pada
amiloidosis AL.10-11
Suatu
keseimbangan yang tepat antara sintesis protein, maturasi dan degradasi sangat
penting untuk kelangsungan hidup suatu sel. Folding
dari protein pada sel merupakan proses sentral yang sangat rentan terjadi
kesalahan, mulai dari proses transkripsi sampai sekresi. Proses ini benar-benar
diregulasi dengan ketat secara molekular dan memerlukan konsumsi energi yang
cukup tinggi. Protein yang tidak mencapai folding
yang sempurna akan dihancurkan. Namun, protein-protein amiloidogenik dapat
lolos dari proses degradasi ini. Sebagai
tambahan dari protein amiloidogenik yang utama, amiloid mengandung suatu unsur
pokok di dalamnya yang disebut komponen serum amiloid P (SAP). Serum amiloid P
ini adalah suatu glikoprotein dengan reseptor pengikat yang khusus dalam
pembentukan amiloid, lokasinya pada permukaan B dari bentuk pentameric (pentraxin) dari protein. Serum
amiloid P ini melindungi fibril-fibril amiloid dari beberapa enzim protease dan
dari aktivitas fagosistosis sel.12
Selain
adanya SAP, pada setiap deposit amiloid juga terdapat glycosaminoglycans (GAGs), terutama Heparan Sulphate Proteoglycans (HSPG) yang diduga mempunyai peranan
yang sangat penting dalam proses pembentukan dan stabilisasi deposit amiloid.13
Heparan sulphate mempunyai peran
aktif dalam pembentukan amiloid dan peranan pasif dalam akumulasi deposit
amiloid.14 Salah satu hipotesis mengungkapkan peranan dari proteoglycans dalam membentuk
stuktur-struktur bertingkat yang memfasilitasi adhesi dan orientasi dari
beberapa deposit amiloid yang pada akhirnya akan membentuk suatu oligomer.
Setelah terbentuk oligomer ini,
dikatakan terdapat mekanisme toksisitas langsung ke jaringan. Kandungan dari
oligomer tersebut (deposit amiloid dalam jumlah besar) dapat merusak arsitektur
dari jaringan dan menyebabkan disfungsi organ. Namun mekanisme toksisitas langsung
saja belum cukup menjelaskan penyebab kerusakan jaringan pada penyakit
amiloidosis. Pada penelitian lain dijelaskan bahwa deposit fibril-fibril
amiloid berinteraksi dengan reseptor lokal seperti Receptor for Advanced Glycation End-products (RAGE), dan akan
memicu respon inflamasi dan juga menginduksi pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) yang akan menginduksi terjadinya stress
oksidatif, sehingga akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan dan disfungsi
organ.15-16
Gambar
1 Patogenesis Amiloidosis17
Keterangan
Gambar: GAGs: glycosaminoglycans; SAP: Serum Amiloid Protein
IV.
GAMBARAN
KLINIS
Gambaran klinis dari penyakit
amiloidosis ini sangat bervariasi, sehingga cukup sulit dalam menentukan
diagnosis. Secara sederhana, gambaran klinis ini dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu
bentuk lokal dan sistemik. Amiloidosis yang lokal umumnya terbatas pada 1
tempat dan biasanya tidak membahayakan. Pada kulit sering dijumpai deposit
amiloid berupa plak yang asimptomatik, fisura atau berupa nodul. Amiloidoma
merupakan lesi manifestasi amiloidosis AIns pada kulit yang terbentuk di
sekitar tempat bekas suntikan pada pasien diabetes. Amiloidosis AL yang
biasanya bermanifestasi sistemik mempunyai varian lokal.18 Lesi
kulit nodular pada amiloidosis AL, terbentuk sebagai respon terhadap reaksi
inflamasi lokal yang disebabkan sel plasma monoklonal. Pada pasien dengan
amiloidosis yang sifatnya lokal, selain lesi pada kulit bisa juga didapatkan
mikroskopis atau gross hematuria (vesica urinaria), pasien mengalami perubahan
suara yang tidak dapat dijelaskan (deposit amiloid pada laring).
Amiloidosis yang
sifatnya sistemik biasanya melibatkan organ-organ visceral atau beberapa
jaringan. Gejala tidak terbatas pada satu organ saja, tetapi bisa juga
menyebabkan gagal multi organ. Salah satu bentuk amiloidosis sistemik yang
paling sering adalah amiloidosis AL, yang mana perbandingannya 20:1 di Amerika
Serikat, jika dibandingkan dengan amiloidosis AA. Organ yang paling sering
terkena baik amiloidosis AL maupun AA adalah ginjal. Gambaran klinis
proteinuria didapatkan 73% dari pasien amiloidosis AL, 30% diantaranya
menderita sindrom nefrotik. Insufisiensi renal tercatat hampir separuh dari
pasien yang mengalami proteinuria, tetapi didapatkan juga pada pasien tanpa
proteinuria dengan gangguan vaskular ginjal.19 Pada amiloidosis AA,
secara universal 97% organ ginjal terkena.20
Gejala
utama amiloidosis pada
ginjal adalah proteinuria, (tergantung pada lokalisasi dari
deposit amiloid) sebagian besar berasal dari glomerulus
dan didapatkan albuminuria. Oleh karena itu, amiloidosis harus selalu dianggap sebagai kemungkinan diagnosis banding pada pasien dengan proteinuria, terutama dengan adanya
tanda-tanda sistemik dari amiloidosis. Untuk proteinuria dalam kisaran nephritic (>3,5 gr/dl, terutama albumin),
kemungkinan
lokasi dari deposit
amiloid terdapat di intraglomerular. Sindrom nefritik disertai dengan disproteinemia dengan hipoalbuminemia dengan edema jelas, hiperlipidemia,
penurunan fungsi
ginjal (opsional) dan kecenderungan
terjadinya trombosis. Jika deposit
ditemukan terutama di tubulointerstitium, proteinuria umumnya kurang jelas
(Bence Jones proteinuria). Deposit terletak di dinding pembuluh dapat
menyebabkan hipertensi, yang sangat jarang pada amiloidosis.21
Jantung
adalah organ yang paling umum berikutnya yang
terkena pada amiloidosis AL dengan temuan
ekokardiografi abnormal tercatat sebanyak 65% dari pasien. Gambaran klinis bervariasi dari tanpa gejala
sampai penurunan perlahan dalam kapasitas latihan, kelelahan, dispneu dan edema ekstremitas bawah. Jika sudah bertambah
parah, dapat memberikan gejala angina,
sinkop, ascites
dan edema anasarka. Terjadi gagal jantung pada 24% pasien. EKG low
voltage dan
penebalan dinding ventrikel yang
konsentris pada echocardiogram adalah tanda-tanda klasik dari keterlibatan
jantung pada
amiloidosis. Pada
amiloidosis AA keterlibatan jantung jarang
terjadi (hanya
1% dari pasien).22
Deposit amiloid pada sistem saraf menonjol dalam beberapa bentuk amiloidosis dan
dapat melibatkan saraf pusat, saraf perifer, atau keduanya. Gambaran klinis
keterlibatan saraf perifer dapat berupa progresif
paresthesia bilateral distal atau carpal tunnel
syndrome. Gangguan
saraf otonom ditandai dengan sinkop,
disfungsi ereksi, gastroparesis dan diare.
Gejala yang paling umum untuk penyakit
amiloidosis termasuk kelelahan dan penurunan berat badan,
dilaporkan dialami lebih dari setengah dari pasien. Berat badan, bagaimanapun, tidak dapat dijadikan
patokan pada pasien dengan sindrom nefrotik karena berat badan akan
bertambah jika edema yang
dialami memburuk. Gambaran klinis pada
saluran pencernaan biasanya jarang,
dapat berupa macroglossia, mual, muntah, dan pseudoobstruction,
yang dijumpai 10% dari kasus amiloidosis AL. Hepatomegali didapatkan
sebanyak 24% dari pasien amiloidosis AL tetapi hanya 9% dari amiloidosis
AA. Memar-memar juga sering terjadi setelah prosedur operasi
atau trauma ringan, terutama di sekitar mata.
V.
DIAGNOSIS
Pasien dengan gambaran disfungsi multi
organ harus diskrining untuk penyakit amiloidosis. Dalam mendiagnosis pasien
akan lebih sulit bila hanya tedapat keterlibatan satu macam organ saja, karena
kondisi ini menyerupai penyakit umum lainnya yang lebih sering dijumpai.
Skrining harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung yang tidak bisa
dijelaskan penyebabnya, neuropati dan sindrom nefrotik. Petunjuk yang
meningkatkan kecurigaan termasuk gambaran EKG low voltage, hipotensi berat tanpa pengobatan dengan
antihipertensi, dan adanya neuropati disertai keterlibatan organ-organ lain.
Berikut ini tahap-tahapan dalam mendiagnosis
penyakit amiloidosis:
1. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan protein monoklonal dari
serum harus dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai suatu amiloidosis. Amiloidosis
AL merupakan penyakit yang tersering dan merupakan bentuk amiloidosis yang
berbahaya. Sebagai tambahan, bisa dilakukan pemeriksaan serum light chain, jika pemeriksaan serum light chain ini dilakukan, sensitivitasnya
dapat meningkat sekitar 10-15%.23 Biopsi sumsum tulang harus
dilakukan jika teridentifikasi adanya protein monoklonal atau jika jenis
amiloid adalah tipe AL atau AH. Laju Endap Darah (LED) akan meningkat pada
pasien dengan protein monoklonal. LED dan C-reaktif protein juga akan meningkat
pada pasien dengan riwayat penyakit infeksi dan
inflamasi kronik. Kadar Serum Amiloid A (SAA) juga dapat diukur
langsung. Meskipun terdapat korelasi yang baik antara C-reaktif protein dengan
SAA, penelitian menemukan bahwa SAA lebih sensitif dalam mengidentifikasi
pasien yang beresiko berkembang menjadi amiloidosis AA dan nilai prognosis yang
lebih baik. Sayangnya, pemeriksaan ini tidak disetujui untuk dilakukan di
Amerika Serikat.24
2. Urinalisis
Seperti pada pemeriksaan darah, jika
dicurigai suatu amiloidosis, perlu juga pemeriksaan protein monoklonal dari
urine. Pemeriksaan urinalisis lain yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan
protein baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemeriksaan urinalisis
sangat penting dilakukan pada penyakit amiloidosis yang bermanifestasi pada
ginjal karena gambaran klinis awal yang dijumpai pada amiloidosis yang
bermanifestasi pada ginjal adalah proteinuria atau albuminuria, sebelum
berkembang menjadi tahap lanjut yang dapat dijumpai peningkatan kadar ureum dan
kreatinin yang didapatkan pada pemeriksaan darah.24
3. Biopsi
Meskipun pemeriksaan skrining sangat
membantu, diagnosis secara histologis dan biopsi jaringan sangat perlu
dilakukan. Secara umum, sensitivitas dan spesifisitas tertinggi diperoleh
dengan membuat biopsi pada organ yang mengalami disfungsi. Melalui biopsi, dari
penelitian mengungkapkan sensitivitas yang diperoleh melalui biopsi
berturut-turut pada jantung (100%), hati (97 %), dan ginjal (94%). Walaupun
terdapat resiko perdarahan, resiko ini tidak lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien tanpa penyakit amiloidosis yang menjalani prosedur biopsi sesuai standar
prosedur.25 Bagian yang paling mudah dicapai pada saat biopsi adalah
lemak abdominal, sensitivitasnya ~ 80%. Bagian rektum juga sering menjadi
lokasi yang mudah untuk dibiopsi, sensitivitasnya 75%. Biopsi sumsum tulang
juga didapatkan deposit amiloid, tetapi sensitivitasnya hanya 56%. Amiloid juga
dapat ditemukan pada kelenjar tiroid, akan tetapi insidensinya tidak diketahui
dan tidak ada data sensitivitasnya. Dikarenakan relatif aman, jika pasien
dicurigai menderita penyakit amiloidosis, jangan ragu untuk melakukan tindakan
biopsi.
4. Histokimiawi
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop
cahaya dengan pewarnaan Hematoxylin
dan Eosin memberikan gambaran
substansi amorf ekstraselular berwarna merah muda terang. Memberikan hasil negatif
bila pemeriksaan dilakukan dengan pewarnaan periodic
acid-Schiff dan pewarnaan methenamine
silver, dan berwarna biru atau abu pada pewarnaan trichrome. Pewarnaan baku emas untuk diagnosis amiloidosis adalah
dengan pewarnaan Congo Red. Penggunaan
pewarnaan Congo Red akan memberikan
diagnosis definitif pada hampir 100% kasus. Semua bentuk amiloid akan
menunjukan afinitas jika diwarnai dengan pewarnaan Congo Red dan memberikan gambaran apple-green birefringence di bawah mikroskop cahaya polarisasi.
Gambaran ini merupakan karakteristik yang membedakan amiloid dengan
fibril-fibril yang lain. Untuk mendapatkan visualisasi terbaik dari deposit
amiloid yang berukuran kecil, bagian jaringan yang diberi pewarnaan Congo Red paling tidak berukuran tebal 6-10
µm. Perhatikan terutama sekali pada dinding pembuluh darah, di mana paling
sering ditemukan deposit amiloid pada semua jaringan. Teknik pewarnaan ini
mampu mendiagnosis amiloidosis pada 70-80%
pasien.
5. Mikroskop Elektron
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop
elektron rutin dilakukan untuk menganalis sampel dari biopsi ginjal di Amerika
Serikat dan beberapa negara lainnya. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
mendiagnosis karena fibril amiloid memiliki gambaran karakteristik yang unik
jika diperiksa dengan mikroskop elektron. Fibril-fibril amiloid biasanya
tersusun secara acak, tidak bercabang dan solid, berukuran diameter antara 7
dan 12 nm. Bagian tengahnya melekuk membentuk mikrotubulus. Tetapi pada
prakteknya, tidak rutin dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop elektron untuk
mendiagnosis amiloidosis.
6. Amyloid Typing
Setelah amiloid sudah terindentifikasi,
penggolongan dan typing harus
dilakukan. Pemeriksaan mikroskop dengan direct
immunofluorescence, merupakan metode pemeriksaan yang tepat dan merupakan
langkah awal yang harus dilakukan. Pemeriksaan ini paling bermanfaat untuk
kasus deposit amiloid yang mengandung komponen immunoglobulin. Amiloidosis AL
dan atau AH dapat dilakukan typing dengan immunofluorescence
dengan FITC-labeled antibodies
terhadap IgA, IgM, IgG, κ, dan λ light
chain. Untuk amiloidosis AL, hanya satu dari light chain immunoglobulin yang positif. Untuk amiloidosis AH, yang
memberikan hasil positif adalah heavy
chain immunoglobulin tanpa light
chain immunoglobulin, sedangkan jika didapatkan keduanya positif, dinamakan
amiloidosis ALH.
Alternatif lain adalah menggunakan
pemeriksaan imunohistokimiawi, yaitu menggunakan pewarnaan imunoperoksidase
dari jaringan yang sudah diberi paraffin dan formalin. Pemeriksaan ini
bermanfaat untuk mendeteksi AL, AH, AA, AFib, ATTR, AApoA1, dan Aβ2m.
pemeriksaan imunohistokimiawi juga membantu dalam mendeteksi antibodi terhadap
Serum Amiloid Protein (SAP), yang biasanya melekat pada deposit amiloid.
Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk membedakan deposit light chain pada amiloidosis AL dari penyakit deposit
immunoglobulin monoklonal yang lain.
7. Tes Genetik
Beberapa deposit amiloid merupakan hasil
dari mutasi genetik, sehingga pemeriksaan genetik merupakan suatu bagian yang
penting dalam proses typing. Mutasi terdeteksi
pada semua bentuk amiloidosis herediter, contohnya amiloidosis ATTR, amiloidosis
AApoAI, AApoAII, amiloidosis ALys, amiloidosis AFib and amiloidosis AGel
(gelsolin). Tes genetik yang dilakukan adalah dengan tes sequencing DNA. Pemilihan gen yang akan dilakukan sequencing berdasarkan gambaran klinis
dan hasil dari pemeriksaan histologi dan imunohistokimiawi sebelumnya.26
8. Proteomics
Proteomics dilakukan dengan cara mass spectrometry, yang mana mempunyai
kemampuan mengidentifikasi seluruh proteome
yang ada. Dikarenakan pemeriksaan mass spectrometry
tergantung kadar konsentrasinya, protein tersebut harus dipisahkan sebelum
dilakukan analisis. Pemisahan tersebut dapat dikerjakan dengan beberapa teknik,
termasuk gel elektroforesis, tetapi yang paling efisien adalah dengan cara liquid
chromatography.
Baku emas dalam mengaplikasikan
proteomics untuk typing amiloid saat
ini adalah dengan menggunakan laser
microdissection diikuti dengan mass
spectrometry (LMD-MS). Area yang positif dengan pewarnaan Congo Red, dilakukan diseksi dengan
menggunakan laser dissecting microscopy diikuti dengan tryptic digestion. Kemudian peptida tersebut akan dianalisa dengan
metode liquid chromatography electrospray
disertai mass spectrometry. Hasilnya
akan diolah dengan 3 alogaritma yang berbeda dan disertai dengan nilai
probabilitas. Pada penelitian dengan menggunakan 50 sampel biopsi jaringan yang
berbeda dan mengandung berbagai jenis tipe amiloid, LMD-MS dapat
mengidentifikasi 50 dari 50 sampel tersebut secara tepat. Pada tes validasi,
LMD-MS mengidentifikasi 41 dari 40 sampel amiloid, sedangkan imunohistokimiawi
hanya dapat mengidentifikasi 15 dari 36 sampel. Penelitian-penelitian
menunjukkan bahwa LMD-MS mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi semua
protein amiloid yang sudah diketahui dengan akurasi 100%, dan dapat juga mengidentifikasi
protein amiloid baru yang belum dikenali. Pemeriksaan LMD-MS dapat dilakukan tanpa
memperhatikan gejala dari pasien, dan tanpa perlu mengetahui riwayat klinis sebelumnya.27,28
9. Pencitraan
Ada 2 modalitas
pencitraan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya amiloid dalam tubuh.
Meskipun secara umum tidak digunakan untuk tujuan diagnostik, pemeriksaan ini
cukup bermanfaat dalam mendeteksi amiloid dalam tubuh setelah diagnosis dibuat.
Modalitas pencitraan pertama adalah MRI. Sangat bermanfaat untuk mendeteksi
deposit amiloid pada jantung. Akurasi MRI jantung dalam mendeteksi deposit
amiloid dapat mencapai 97%. Sayangnya, temuan deposit pada jantung ini
dikaitkan dengan amiloidosis tahap lanjut, dan sensitivitas mungkin lebih rendah
pada kasus amiloid yang masih dini.
Teknik
pencitraan lainnya adalah dengan menggunakan skintigrafi 123I-SAP. Teknik ini menggunakan
radioaktif yang dilabeli komponen Serum Amiloid P untuk mendeteksi deposit
amiloid dalam tubuh.29,30 Dikarenakan SAP terikat pada semua
amiloid, pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk semua tipe amiloidosis. Deposit
dapat dihitung jumlahnya melalui skintigram, dan hasilnya dapat digunakan untuk
memonitoring pengurangan amiloid setelah pengobatan atau rekurensi setelah transplantasi
organ.31,32 Akan tetapi, SAP skintigrafi kurang baik dalam menilai
deposit amiloid pada jantung, sehingga jika dicurigai terdapat deposit pada
jantung, maka dapat dilakukan pemeriksaan MRI atau ekokardiografi.
Pemeriksaan 123I-SAP
skintigrafi saat ini sudah dilakukan di Eropa, tetapi belum dilakukan di
Amerika Serikat.
VI.
PENATALAKSANAAN
Deposit amiloid yang sedang berlangsung di ginjal dikaitkan
dengan penurunan fungsi ginjal yang progresif. Dalam
kelompok pasien yang menderita amiloidosis AL dengan keterlibatan ginjal yang
diamati selama tahun 1980-an, pada akhirnya
jatuh ke gagal ginjal tahap akhir, terjadi
pada rata-rata hanya 14 bulan setelah terdiagnosis. Secara keseluruhan, kerusakan ginjal mungkin
adalah yang paling cepat pada amiloidosis AL. Perubahan hemodinamik sebagai
akibat dari sindrom nefrotik berat, disfungsi otonom, atau
gagal jantung sering mendasari perubahan mendadak dalam fungsi ginjal dan
memberikan kontribusi yang mengarah pada perburukan fungsi ginjal.
Amiloidosis AL
Tujuan dari pendekatan
pengobatan saat ini untuk amiloidosis AL adalah untuk mengeradikasi sel-sel plasma klonal yang menghasilkan light chain
amyloidogenic. Prognosis amiloidosis
AL telah meningkat secara substansial selama dekade terakhir dengan meningkatnya
penggunaan pengobatan anti-plasma
sel yang
agresif. Beberapa regimen kemoterapi telah dievaluasi,
dan melphalan dosis tinggi intravena diikuti dengan transplantasi autologus stem cell untuk mendukung pemulihan sumsum tulang (HDM / SCT) merupakan
terapi yang paling mungkin untuk menghilangkan sel-sel plasma
klonal. Pengalaman dari beberapa pusat pengobatan telah
menyarankan bahwa 25 sampai 50% dari pasien yang menjalani pengobatan tersebut
memiliki respon hematologi lengkap, yang berarti bahwa tidak ada bukti dari
produksi yang sedang berlangsung dari monoclonal light chain. Dosis regimen standar
baku emas saat ini untuk amiloidosis AL adalah melphalan
10 mg/m2/hari, hari 1-4, ditambah dosis tinggi oral deksametason 40
mg/hari, hari 1-4 (M-Dex), setiap 28 hari sampai remisi stabil dengan maksimum
dua belas bulan.33
Berkembangnya
pengobatan myeloma yang lebih baru memberikan jalan untuk mengembangkan
alternatif pengobatan amiloidosis AL di Belgia. Beberapa pasien yang menderita multiple myeloma dan menderita amiloidosis
AL diberikan kombinasi agen kemoterapi baru. Bortezomib sebagai agen tunggal,
menginduksi respon hematologi yang cepat dalam 50% dari pasien, dengan 20% Complete Remission (CR). Kombinasi
bortezomib, siklofosfamid, dan deksametason (VCD) telah diteliti dalam dua
analisis retrospektif melaporkan hasil dengan 81,4-94% respon hematologi dan
39,5-71% complete remission (CR).
Regimen ini tepat diberikan pada penderita amiloidosis AL dengan keterlibatan
organ jantung. Pengobatan dengan diberikan selama dua sampai delapan siklus
mingguan atau dua mingguan bortezomib 1.3 mg/m2, siklofosfamid
300-700 mg secara oral per minggu, dan deksametason 40 mg sekali atau dua kali
seminggu, dan dilanjutkan dengan transplantasi autologus stem cell pada pasien yang memenuhi syarat. Pada pasien
dengan penyakit jantung tahap lanjut, bortezomib harus digunakan dengan
hati-hati karena dapat menyebabkan penurunan mendadak dalam ejeksi fraksi ventrikel
kiri. Pemberian bortezomib subkutan per minggu lebih dianjurkan pada amiloidosis
AL. Bahkan pada pasien dengan resiko tinggi amiloidosis AL di jantung, regimen
VCD dapat mencapai respon hematologi yang baik dan perbaikan fungsi jantung.
Amiloidosis
AA
Pendekatan
pengobatan amiloidosis AA bertujuan untuk mengatasi kondisi inflamasi kronik
yang mendasarinya dan mengurangi produksi prekusor amiloid protein, yaitu
protein serum A. Pemantauan kadar protein amiloid serum A sangat penting untuk menilai apakah supresi
pada penyakit yang mendasari
sudah adekuat. Kadar protein amiloid serum A merupakan prediktor yang sangat
kuat untuk survival pasien dan fungsi
ginjal. Mengendalikan penyakit yang mendasari, dengan cara mengurangi kadar acute phase reactant, termasuk kadar SAA
yang beredar, merupakan strategi yang paling efektif untuk stabilisasi atau
bahkan regresi dari deposit amiloid. Remisi dari amiloidosis yang
bermanifestasi dengan gambaran sindrom nefrotik, didapatkan dengan pemberian
obat-obatan tuberkulostatik.34 Kolkisin dosis tinggi (1.5–2 mg/hari)
efektif dalam mengontrol inflamasi sistemik seperti pada Familial Mediteranian Fever (FMF), dan menginduksi remisi
amiloidosis AA. Pengobatan dengan immunomodulator juga terbukti sangat berguna dalam
mengendalikan proteinuria dan meningkatkan survival
jangka panjang pada beberapa penyakit peradangan sendi dan inflammatory bowel disease. Chlorambucil,
cyclophosphamide, tacrolimus, dan anti-TNF-alpha atau anti-IL-6 antibodi,
seperti infliximab, etanercept, atau tocilizumab adalah beberapa contoh obat
yang dapat digunakan. Tocilizumab, suatu anti-IL-6 antibodi monoklonal, terbukti
sangat efektif dalam mengurangi kadar SAA yang beredar dan mengendalikan
perkembangan amiloidosis pada beberapa penyakit sendi autoimun.35
Dimethyl
sulfoxide adalah molekul turunan dari low-density
lipoprotein intraseluler, yang merusak ikatan hidrogen. Telah diuji pada pasien dengan deposit
amiloid pada gastrointestinal dan
amiloidosis ginjal, dapat menurunkan
kadar acute
phase reactant dan memperbaiki keluhan gastrointestinal, juga dapat mengurangi deposit amiloid.
Eprodisate (Kiacta)
suatu obat dengan berat molekul rendah
yang mirip dengan heparan sulfat. Dengan cara
kerja binding competitive dengan tempat GAG union, sehingga menghambat polimerisasi fibril amiloid dan mencegah
stabilisasi deposit amiloid.
Heparins dan
statin juga memiliki efek menguntungkan pada amiloidosis AA. Adanya heparin dan
statin dapat memperlambat progresivitas penyakit dengan memecah ikatan yang
menstabilkan antara GAG dan SAA pada deposit amiloid, mirip dengan cara kerja
eprodisate.36
VII.
PROGNOSIS
Dengan
tidak adanya kemoterapi, amiloidosis AL selalu menjadi
progresif. Prognosis terburuk dikaitkan dengan gejala
klinis keterlibatan jantung, dengan tingkat survival rate 6
bulan. Prognosis tidak dipengaruhi oleh proliferasi sel plasma. Namun, teriidentifikasinya populasi sel plasma neoplastik mempengaruhi survival, dan infiltrasi sel plasma di atas 10% pada
sumsum tulang dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. Pasien dengan keterlibatan terbatas
pada saraf perifer memiliki survival
rate lebih panjang. Faktor prognostik lain yang
menguntungkan termasuk fungsi ginjal normal. Untuk
amiloidosis ginjal, respon klinis bermakna didefinisikan sebagai 50% penurunan
(setidaknya 0.5
g/hari) dari protein urin 24 jam, tidak adanya
pengurangan laju filtrasi glomerulus (eGFR) ≥25% atau peningkatan serum
kreatinin ≥0.5 mg/dL.
Prognosis untuk
penyakit amiloidosis AA, tanpa memperhatikan prognosis dari penyakit primer
yang mendasarinya, dikaitkan dengan derajat kerusakan ginjal pada saat
terdiagnosis. Prognosis yang buruk dihubungkan dengan kadar serum kreatinin
lebih dari 2 mg/dL atau kadar serum albumin kurang dari 2.5 g/dL. Pasien mean survival berkisar 2-3 tahun, tetapi
dengan adanya terapi pengganti ginjal, survival
meningkat mencapai 4 tahun. Pada kasus dengan tahap lanjut, infeksi merupakan
penyebab utama kematian. Dengan penggunaan anti-infeksi yang agresif,
peningkatan survival adalah suatu hal
memungkinkan.
VIII.
RINGKASAN
Amiloidosis merupakan penyakit
familial yang disebabkan oleh adanya deposit protein fibril ekstraselular
dengan karakteristik β-pleated sheet
conformation. Penyaktit ini bermanifestasi pada beberapa organ dalam tubuh
manusia. Organ ginjal merupakan manifestasi yang paling sering dijumpai dan
memberikan kontributor mayor dalam hal morbiditas pasien.
Tipe dari amiloidosis ditentukan dari
prekrusor protein tersebut yang mengalami misfolding
menjadi deposit fibril-fibril amiloid. Klasifikasi terkini yang ada sekarang
adalah berdasarkan kimia material dari amiloid tersebut
Gambaran klinis dari penyakit amiloidosis ini sangat
bervariasi, sehingga cukup sulit dalam menentukan diagnosis. Secara sederhana,
gambaran klinis ini dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu bentuk lokal dan sistemik.
Beberapa tahapan yang
perlu dilakukan dalam mendiagnosis penyakit amiloidosis ini adalah mulai dari pemeriksaan
darah rutin dan urinalisis, biopsi, histokimiawi, mikroskop elektron, amyloid typing, tes genetik, proteonomics sampai pencitraan untuk
mendapatkan diagnosis penyakit amiloidosis yang tepat dan akurat.
Penatalaksanaan penyakit
amiloidosis ini tergantung penyebabnya. Beberapa
regimen kemoterapi telah dievaluasi, dan melphalan dosis tinggi intravena
diikuti dengan transplantasi autologus
stem cell untuk mendukung pemulihan
sumsum tulang (HDM / SCT) merupakan terapi yang paling mungkin untuk menghilangkan sel-sel plasma
klonal.
0 komentar:
Posting Komentar