Advertising

Minggu, 01 Oktober 2017

GANGGUAN TIDUR PADA USIA LANJUT


PENDAHULUAN
Tidur merupakan suatu proses yang bersifat pasif dan dianggap sebagai keadaan dorman dari kehidupan kita. Aktivitas otak menjadi sangat aktif ketika manusia sedang tidur. Siklus tidur dan bangun diatur oleh jam tubuh (body clock). Body clock terletak didalam otak yaitu nucleus suprachiasmatic dan mempunyai periode selama 24 jam. Selama satu periode 24 jam, manusia mempunyai waktu tidur normal selama 6-10 jam. Pola tidur manusia dipengaruhi oleh umur hal ini ditunjukkan dengan adanya gambaran khas pada kelompok usia bayi, dewasa, dan orang tua.1
Gangguan tidur merupakan gejala utama yang cukup sering dikeluhkan oleh pasien lanjut usia saat berobat ke pengobatan fasilitas primer atau ke psikiatri. Diperkirakan bahwa lebih dari 50% populasi lanjut usia paling tidak memiliki minimal satu keluhan terkait tidur.2 Pada lanjut usia, gangguan tidur dapat meningkatkan risiko jatuh, penurunan kualitas hidup, kebutuhan akan perawatan dirumah, serta motalitas.3 Seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan pada irama tidur yang mana dapat mempersulit identifikasi dari gangguan tidur.
Gangguan tidur pada lanjut usia dipengaruhi oleh faktor medis, psikiatris, gaya hidup, kognitif, serta faktor lingkungan. Pasien lanjut usia juga memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menginisiasi dan memperbaiki fungsi tidur.3Pada referat ini akan membahas tentang gangguan tidur pada usia lanjut.

PENGERTIAN TIDUR
            Definisi dari tidur merupakan suatu kondisi tidak sadar di mana individu dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensori yang sesuai, atau juga dapat dikatakan suatu keadaan tidak sadarkan diri yang relatif, bukan hanya keadaan penuh ketenangan tanpa kegiatan, akan tetapi lebih merupakan suatu urutan siklus yang berulang, dengan ciri adanya aktivitas yang minim, memiliki kesadaran bervariasi, terdapat perubahan proses fisiologis, dan terjadi respons terhadap rangsangan dari luar.

FISIOLOGI TIDUR
Tidur merupakan aktivitas susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang bekerja. Sistem yang bekerja mengatur siklus ini adalah Reticular Activating Aystem (RAS) dan Bulbar Synchronizing Regional (BSR) yang terletak pada batang otak.Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu:4
1.      Pergerakan mata cepat atau Rapid Eye Movement (REM)
2.      Pergerakan mata tidak cepat atau Non Rapid Eye Movement (NREM)
Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium lalu diikuti oleh fase REM. Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam satu malam. Empat fase NREM yakni:4
1.      Tidur stadium satu
Tahap ini merupakan tahap transisi, berlangsung selama 5 menit yang mana seseorang beralih dari sadar menjadi tidur. Seseorang merasa kabur dan relaks, mata bergerak ke kanan dan kiri, kecepatan jantung dan pernafasan turun secara jelas. Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat terbangun dengan mudah oleh suara atau gangguan lain. Selama tahap ini, mata akan bergerak perlahan dan aktivitas otot melambat.4
2.      Tidur stadium dua
Tahap ini merupakan tahap tidur ringan, dan proses metabolisme tubuh menurun.Denyut jantung melambat dan suhu tubuh menurun. Pada tahap ini gerakan bola mata berhenti. Biasanya tahap ini berlangsung selama 10 hingga 15 menit.4
3.      Tidur stadium tiga
Pada tahap ini tidur lebih dalam dari tahap sebelumnya. Kecepatan denyut jantung, pernafasan serta metabolisme tubuh berlanjut mengalami penurunan akibat dominasi saraf parasimpatik. Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun maka individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit.4
4.      Tidur stadium empat
Ini merupakan tahap tidur paling dalam. Gelombang otak sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot untuk memulihkan energi fisik.4
Fase NREM ini biasanya berlangsung selama 70 hingga 100 menit setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun. Tidur tipe ini disebut juga “Paradoksikal” karena hal ini bersifat paradoks yaitu seseorang tetap tertidur walaupun aktivitas otaknya nyata.4
Efek fisiologis yang terjadi pada saat tidur meliputi reduksi dari tekanan darah, pulsasi nadi saat fase NREM dan REM, aritmia jantung episodik saat fase REM, pernafasan yang ireguler saat fase REM, penurunan fungsi termoregulasi saat fase NREM dan kembali saat fase REM. Perubahan optik refraksi pada mata (peningkatan opasitas lensa, miosis senilis) akan menyebabkan penurunan penghantaran cahaya ke retina, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi irama sikardian.4
            Perubahan irama sikardian menyebabkan seseorang pergi tidur dan terbangun lebih awal. Melatonin yang berfungsi dalam regulasi dan efisiensi tidur akan menurun sekresinya seiring dengan bertambahnya umur, menyebabkan gangguan pada irama sikardian.5,6

GANGGUAN TIDUR PADA USIA LANJUT
Insomnia
Berdasarkan kriteria diagnosis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, insomnia didefinisikan sebagai ketidakpuasan terhadap kualitas atau kuantitas tidur yang berhubungan dengan kesulitan dalam mengawali dan mempertahankan tidur serta bangun terlalu pagi yang mana hal tersebut menyebabkan gangguan yang signifikan dengan frekuensi kejadian minimal 3 malam per minggu dalam 3 bulan berturut-turut yang mana terjadi pada keadaan ideal untuk tidur dan tidak terkait dengan sebab dari penyakit lain atau penggunaan zat tertentu. Insomnia diklasifikasikan menjadi 3 bentuk:7
·         Short Term Insomnia
Sebelumnya dikenal sebagai insomnia akut, insomnia terkait stress atau insomnia transien, yang umumnya terjadi dalam jangka waktu kurang dari 3 bulan. Gejalanya bersifat sementara terhadap stressor yang muncul. Insomnia ini diharapkan akan menghilang setelah stressor dapat ditangani atau setelah muncul respon adaptif terhadap stressor tersebut.
·         Chronic Insomnia
Insomnia ini ditandai dengan gangguan tidur yang terjadi minimal 3 malam dalam seminggu selama 3 bulan atau lebih dan tidak berhubungan dengan penyebab inadekuasi tidur lainnya (masalah tidur lainnya).
·         Other Insomnia
Merupakan kondisi dimana tidak memenuhi kriteria dari insomnia akut dan kronik.
Prevalensi dari gangguan tidur akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Umur dan jenis kelamin merupakan faktor risiko tersendiri dari gangguan tidur, dimana umur yang tua dan jenis kelamin wanita merupakan kelompok dengan prevalensi terbanyak. Prevalensi insomnia pada wanita akan meningkat baik pada saat menstruasi atau pada saat menopause.7
Obstructive Sleep Apnea
Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan tidur yang didapati pada 3%-7% dari populasi dewasa pria dan 2%-5% pada populasi dewasa wanita yang ditandai oleh kolapsnya jalan nafas secara berulang baik bersifat total atau parsial dan dapat menyebabkan hipoksemia, fragmentasi dari tidur serta penurunan kualitas tidur.8 OSA sering terjadi pada kelompok usia lanjut, dengan insidensi kejadian mencapai 24% hingga 42% dari populasi usia lanjut mengalami 5 episode atau lebih apnea dalam satu jam periode tidur.9 Faktor risiko klasik dari OSA (obesitas/lingkar leher yang pendek) jarang ditemukan pada kelompok usia lanjut, menyebabkan identifikasi faktor risiko OSA pada usia lanjut cukup sulit dilakukan.
OSA sering dikaitkan dengan efek kardiovaskular. OSA berhubungan dengan hipertensi dan hal tersebut bersifat independen terhadap obesitas, dimana gejala OSA dapat membaik pasca terapi hipertensi. OSA juga berhubungan dengan penyakit arteri koroner baik yang bersifat klinis maupun subklinis, termasuk dengan insidensi penyakit dan mortalitas yang tinggi terkait penyakit kardiovaskular.10 Mekanisme dari hubungan antara OSA dan penyakit kardiovaskular tampaknya dipengaruhi oleh hipoksia intermiten, inflamasi, aktivasi tonus simpatik, serta fragmentasi pada tidur, yang mana hal tersebut akan berdampak pada disfungsi endotel, hiperkoagulabilitas, vasokontriksi, dan aterosklerosis.10 Asosiasi serupa juga ditemukan antara OSA dan sindrom metabolik, dimana hal tersebut juga dapat meningkatkan kejadian mortalitas terkait gangguan kardiovaskular.10
Gejala neuropsikiatrik seperti gangguan kognitif dan afektif, dapat disebabkan oleh OSA, sehingga deteksi permasalahan terkait gangguan tidur merupakan hal penting untuk dilakukan, terutama pada populasi lansia. Apnea-Hypopnea Index (AHI) digunakan dalam mendiagnosis apneu saat tidur. Sistem perhitungan ini digunakan untuk menilai jumlah episode apneu pasien (hilangnya siklus pernafasan dalam 10 detik atau lebih) yang berhubungan dengan desaturasi oksigen. Diganosis sleep apnea ditegakkan bila terdapat > 5 kali episode apnea dalam satu jam saat tidur. Manajemen terapi dari OSA antara lain meliputi pemberian Continous Positive Airway Pressure (CPAP) disertai dengan modifikasi gaya hidup seperti penurunan berat badan, kontrol tekanan darah dan menghindari penggunaan alkohol serta zat sedatif.3
Restless Legs Syndrome
            Restless Legs Syndrome (RLS) merupakan gangguan terkait tidur yang ditandai oleh hasrat untuk menggerakkan kaki yang kadang disertai dengan sensasi tidak nyaman yang mana gejalanya akan memberat dengan istirahat dan berkurang dengan aktivitas, terutama memberat saat malam hari.11Usia lanjut merupakan faktor risiko dari RLS, dengan perkiraan prevalensi yang mencapai 4% pada individu dengan umur 70 s/d 89 tahun, dengan pasien usia lanjut yang mengeluhkan gejala lebih sering hingga 9% s/d 20% dari semua kasus yang dilaporkan. Faktor risiko dari RLS yang cenderung terjadi pada usia lanjut meliputi konsentrasi besi yang rendah, status sosio-ekonomi yang rendah, adanya komorbitas terkait medis dan psikiatris, penyakit parkinson dan gagal ginjal. Lini terapi pertama pada kasus RLS ialah agonis dopamin. Lini terapi lainnya antara lain benzodiazepin, antikonvulsan, opioid dan agen dopaminergik, walaupun beberapa lini terapi tersebut dapat menimbulkan efek samping yang signifikan pada kelompok pasien usia lanjut. Terapi non farmakologis meliputi sleep hygiene, aktivitas fisik, menghindari konsumsi minuman berkafeindapat membantu meringankan gejala RLS.12
Gaya Hidup yang Mempengaruhi Kualitas Tidur
Alkohol
Konsumsi alkohol sebelum tidur dapat menyebabkan gangguan pada fase tidur dan pada pemeriksaan Polisomnography (PSG).13 Konsumsi alkohol sebelum tidur akan menurunkan periode laten tidur, tetapi dapat meningkatkan hasrat tidur pada bagian setengah akhir dari malam dan hal tersebut bergantung dengan dosis pemberian alkohol. Konsumsi alkohol sebelum tidur pada kelompok pasien usia lanjut dapat menyebabkan efek yang buruk terhadap kualitas tidur. Penggunaan alkohol secara berlebihan dalam jangka panjang pada populasi usia lanjut akan meningkatkan risiko hipoksemia selama tidur.14
Aktivitas Fisik
            Aktivitas fisik teratur yang dilakukan di siang hari direkomendasikan sebagai bagian dari sleep hygiene dan dapat menjadi metode yang baik untuk memperbaiki kualitas tidur pada indvidu tanpa memandang ada tidaknya gangguan tidur. Pada populasi dewasa tua, aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dalam beberapa minggu terbukti menunjukkan perbaikan kualitas tidur yang cukup signifikan. Pria usia lanjut yang secara aktif berolahraga menunjukkan periode latensi tidur yang pendek, waktu terbangun yang lebih pendek setelah onset tidur tercapai, efisiensi tidur yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok pasien usia lanjut yang secara fisik tidak aktif.15
Konsumsi Kafein
            Konsumsi kafein dalam jumlah kecil pada populasi usia lanjut sangat bermakna dimana konsentrasi plasma dan jaringan yang tinggi dibandingkan dengan pada populasi dewasa muda sebagai akibat tingginya jaringan adiposa serta penurunan fungsi klirens kafein dari liver yang lebih lambat. Seiring dengan bertambahnya usia, fisiologis tidur akan lebih sensitif terhadap kafein, antara lain meliputi peningkatan latensi tidur, durasi waktu tidur yang lebih pendek, serta efisiensi tidur yang menurun. Konsumsi minuman berkafein berhubungan dengan gangguan pernapasan saat tidur. Pada kelompok pasien dengan demensia, konsumsi minuman berkafein saat siang dan sore hari berhubungan dengan peningkatan risiko terbangun saat malam hari.17,18

Konsumsi Nikotin
Nikotin diketahui memiliki efek sebagai zat stimulan. Merokok diketahui berhubungan dengan gangguan tidur yang meliputi peningkatan periode latensi tidur, penurunan durasi dari tidur, serta penurunan kualitas tidur. Pada kelompok pasien usia lanjut, merokok berhubungan dengan durasi tidur siang yang lebih panjang19,20.
Gangguan TidurTerkait Mood dan Ansietas
Mood
            Gangguan mood cukup sering ditemukan pada populasi usia lanjut, dengan estimasi 11% dari populasi tersebut mengalami gangguan mood apakah itu berupa depresi minor atau mayor. Adanya hubungan dua arah antara gangguan mood dan tidur telah diteliti pada populasi lanjut usia, dimana kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan terjadinya depresi, serta kualitas tidur yang buruk dapat menjadi penanda adanya depresi. Pada pasien usia lanjut, asosiasi tersebut dapat menjadi hal yang membingungkan dengan adanya penyakit komorbiditas medis yang mana kualitas tidur yang buruk dapat menjadi penanda dari adanya penyakit tersebut, sehingga dapat menyebabkan underdiagnosis/overdiagnosis dari depresi. Gangguan tidur yang terjadi pada pasien usia lanjut yang disertai dengan depresi umumnya meliputi gangguan kontinuitas tidur (peningkatan periode laten dari tidur, peningkatan atau pemanjangan masa terjaga, serta bangun tidur yang terlalu awal), peningkatan fase tidur REM, fase tidur REM yang muncul lebih dini, serta berkurangnya tahap 3 dan 4 dari fase tidur (tidur dalam).21


Ansietas
            Kendati telah banyak penelitian yang dilakukan guna mengetahui hubungan antara gangguan mood dan gangguan tidur, hanya terdapat sedikit penelitian yang meneliti hubungan antara ansietas dan gangguan tidur pada pasien usia lanjut. Terdapat banyak aspek yang saling tumpang tindih antara ansietas dan depresi pada usia lanjut, yang mana hal tersebut cukup menyulitkan dalam membedakan antara kedua hal tersebut secara jelas sehingga menyebabkan penelitian terkait kedua hal tersebut cukup sulit dilakukan. Setengah bahkan lebih dari populasi pasien usia lanjut mungkin mengalami ansietas yang signifikan. Gangguan tidur dan ansietas menjadi faktor komorbiditas yang signifikan walaupun (seperti halnya dengan gangguan mood) biologis dari hubungan kedua hal tersebut bersifat sangat kompleks. Beberapa faktor dari ansietas yang berhubungan dengan gangguan tidur antara lain meliputi durasi tidur yang memendek, gangguan tidur lainnya (batuk, mengorok, menggigil, serta mimpi buruk) dan mengantuk yang berlebihan saat siang hari.22
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Kelompok pasien usia lanjutdapat mengalami episode PTSD sebagai konsekuensi dari riwayat trauma masa lalu, seperti pertikaian, penyiksaan, trauma fisik, dan kekerasan seksual. PTSD juga dapat terjadi sebagai akibat trauma yang baru terjadi seperti kekerasan fisik, bencana alam, atau kecelakaan. PTSD yang berhubungan dengan trauma masa lalu dapat terjadi secara kronik. Perkiraan prevalensi PTSD pada populasi usia lanjutsangat bervariasi bergantung dengan jenis penelitian populasi yang dilakukan. Gangguan tidur, termasuk mimpi buruk merupakan gejala PTSD yang sering ditemukan pada usia lanjut.23

Tidur dan Gangguan Neuro Kognitif
Pada pasien usia lanjut, kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif, sebaliknya, demensia dapat muncul disertai dengan gangguan tidur. Penelitian menunjukkan bahwa durasi dari tidur, fragmentasi dari tidur, gangguan tidur terkait pernafasan dan hipoksemia dapat mengakibatkan gangguan kognitif.24,25 Penurunan kognitif ringan berkaitan dengan kesulitan untuk memulai tidur, kesulitan untuk mempertahankan tidur, serta bangun tidur yang terlalu awal. Diantara bentuk demensia, terdapat dua bentuk demensia yang berkaitan dengan gangguan tidur, yaitu Alzheimer Disease (AD) dan Lewy Body Dementia (LBD).
Alzheimer Disease (AD)
            Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa gangguan siklus tidur-bangun dan irama sikardian terjadi pada tahap akhir dari AD, namun juga dapat terjadi pada onset yang lebihawal sebelum adanya gejalagangguan kognitif. Perubahan tidur awal yang terjadi pada AD meliputi penurunan fase 3-4 dari tidur NREM dan kehilangan fase tidur REM seiring dengan beratnya progresivitas penyakit.26 Gejala lain dari gangguan tidur yang berkaitan dengan AD antara lain waktu dan durasi dari siklus tidur, peningkatan periode laten dari tidur, peningkatan frekuensi waktu terjaga saat malam hari, serta peningkatan waktu tidur saat siang hari. Telah diduga bahwa adanya proses biologis dari neuron yang disebabkan oleh degenerasi dari neuron kolinergik pada nukleus basalis dari Meynert dan kerusakan dari nukleus suprakiasmatik dapat menyebabkan gangguan terkait siklus istirahat-aktivitas.27


Lewy Body Dementia
Gangguan tidur pada LBD ditandai dengan berkurangnya atonia otot pada saat fase tidur REM, serta adanya Dream Enactment Behavior (keadaan dimana pasien akan betingkah sesuai dengan apa yang ada didalam mimpinya dan dapat berisiko mencederai pasangan tidur pasien). Onset dari gangguan tidur fase REM yang disebabkan oleh LBD dapat terjadi bersamaan dengan gejala gangguan kognitif atau parkinson, walaupun penelitian menemukan data bahwa gangguan tidur pada fase REM dapat menjadi pertanda dari LBD yang dapat muncul hingga 20 tahun kemudian. Gejala lain dari LBD yang berkaitan dengan gangguan tidur antara lain insomnia dan mengantuk yang berat yang terjadi saat siang hari.28,29
Gangguan Tidur dan Penyakit Medis
Delirium
            Pada pasien yang sedang dalam fase kritis dari suatu penyakit, dapat terjadi kekacauan pada irama sikardian. Delirium secara garis besar ditandai oleh abnormalitas pada irama tidur-bangun, dimana adanya gangguan pada siklus tersebut juga dapat berimplikasi pada terjadinya delirium. Pada keadaan di rumah sakit, banyak faktor yang dapat menyebabkan gangguan pada irama bangun-tidur tersebut, termasuk dengan cahaya lampu yang berkelap-kelip secara terus-menerus pada ruang perawatan intensif, kurangnya paparan sinar matahari, kebisingan, pemberian obat-obatan, pemeriksaan tekanan darah secara berkala yang otomatis, ventilasi mekanik, serta berbagai intervensi lainnya.30,31


Penyakit Parkinson
            Gangguan tidur cukup sering ditemukan dan menjadi salah satu hal yang menjadi faktor komorbiditas pada penyakit parkinson, terjadi pada 90% pasien parkinson dan bahkan onset gangguan tidur tersebut telah muncul sebelum onset gangguan motorik terjadi. Berbagai gangguan tidur yang sering terjadi pada penyakit parkinson antara lain insomnia, mengantuk yang berlebihan pada siang hari dengan Sleep Attacks, RLS, dan REM Behavioral Disorder (RBD).32 Peran dari dopamin dalam mengatur irama sikardian dan fisiologis dari tidur telah terganggu oleh adanya penyakit parkinson, yang akan mengakibatkan penyakit parkinson tersebut. Beberapa mekanisme lain yang berkaitan dengan gangguan tidur pada penyakit parkinson telah diajukan, meliputi gangguan pada sleep architecture, gangguan pada sistem pengaturan hasrat, gangguan pada siklus irama bangun-tidur, gejala motorik dan non motorik nokturnal, gejala neuropsikiatrik, gejala sensorik, comorbid primary sleep disorder , serta efek samping dari berbagai pengobatan. Penelitian membuktikan parkinson yang muncul pada onset umur yang lebih muda berhubungan dengan insomnia, mengantuk berat pada siang hari, mimpi buruk, serta general sleep restlessness dibandingkan dengan kelompok pasien penyakit parkinson yang lebih tua.33
Nokturia
Nokturia merupakan proses miksi yang terjadi sebanyak 2 kali atau lebih saat tidur malam. Diperkirakan 60% dari populasi pria dan wanita diatas umur 70 tahun mengalami episode nokturia. Nokturia, atau secara spesifik jumlah dari miksi yang terjadi tiap malam berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk. Asosiasi dari nokturia dengan dimensi kesehatan lainnya antara lain peningkatan lelah saat siang hari, depresi, serta penurunan kualitas kesehatan secara menyeluruh berkaitan dengan kualitas hidup. Benign Prostate Hypertrophy (BPH) merupakan penyebab terbanyak dari nokturia pada pria. Beberapa penyebab lainnya natar lain Overactive Bladder, infeksi saluran kemih (ISK), hipersensitivitas pada buli, batu saluran kemih, kanker, aktivitas berlebih dari sistem neurogenik otot detrusor, diabetes, polidpsi, insufisiensi renal, penggunaan diuretik, dan berbagai penyebab lainnya.34 Penggunaan obat-obatan untuk menekan nokturia pada populasi lanjut usia cukup terbatas, desmopressin dapat berkaitan pada hipernatremia, sedangkan penggunaan antimuskarinik seperti oxybutynin dan tolterodine dapat menimbulkan efek samping antikolinergik.35
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
            Risiko terjadinya PPOK akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Pasien dengan PPOK berisiko untuk mengalami hiperkapnea dan hipoksemia saat tertidur.36 Diperkirakan bahwa lebih dari setengah populasi pasien dengan PPOK derajat sedang-berat memenuhi kriteria diagnosis dari OSA, yang mana hal ini akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasien. Penggunaan obat-obatan hipnotik pada pasien dengan PPOK dapat sangat berbahaya dimana hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya hipoventilasi, penurunan respon kewaspadaan, hiperkapnea dan hipoksia, serta meningkatnya risiko apnea.37 Pemberian agonis reseptor melatonin, ventilasi mekanis, serta terapi kognitif dan tingkah laku dapat menjadi alternatif terapi yang aman digunakan pada pasien PPOK dengan episode gangguan tidur.
Nyeri Kronik
            Nyeri kronik merupakan hal yang sering dialami oleh populasi pasien usia lanjutdan berubungan dengan artritis, neuropati perifer, penyakit spinal degeneratif, serta penyakit lain terkait tulang dan sendi. Gangguan tidur sering dijumpai pada kelompok pasien dengan nyeri kronik. Pasien dengan intensitas nyeri yang tinggi sering melaporkan peningkatan periode laten dari tidur, penurunan durasi tidur serta peningkatan frekuensi terbangun dari tidur bila dibandingkan dengan kelompok pasien dengan intensitas nyeri yang rendah.38 Terapi nyeri kronik pada pasien usia lanjutcukup sulit, dikarenakan efek samping yang sering muncul dari pemberian obat, kendati demikian, manajemen nyeri yang efektif dapat memperbaiki kualitas tidur pada pasien usia lanjut.
Obat-Obatan yang Dapat Mempengaruhi Tidur
            Efek samping dari penghambat asetilkolinesterase yang digunakan sebagai lini terapi pada pasien dengan AD ialah mimpi yang terlihat nyata dan mimpi buruk, hal ini berkaitan dengan pemendekan fase laten tidur REM, peningkatan densitas fase REM, serta peningkatan durasi tidur fase REM.39 Penggunaan obat-obatan penghambat beta adrenergik berhubungan dengan supresi sekresi dari melatonin yang mana hal tersebut berdampak pada insomnia. Pseudoefedrin, suatu amin simpatomimetik yang digunakan untuk dekongestan nasal pada kasus rinitis alergi atau commmon cold, lebih sering berhubungan dengan kejadian insomnia dibandingkan dengan agen dekongestan lainnya. Kortikosteroid, medikamentosa yang sering diresepkan pada pasien dengan reaksi alergi, immunologi dan gangguan respirasi juga dapat menyebabkan terjadinya delirium dan insomnia.40. Penggunaan diuretik walaupun tidak menyebabkan gangguan pada sleep architecture, namun dapat menyebabkan insomnia sebagai akibat proses miksi berulang saat malam hari.


Pendekatan Terapi Non Farmakologis
Seriring dengan peningkatan risiko dan polifarmasi dari pemberian obat-obatan pada populasi lanjut usia, pendekatan terapi non farmakologis kini menjadi lini pertama dari gangguan tidur.
Cognitive Behavioral Theraphy (CBT)
Penggunaan CBT untuk insomnia telah dipelajari pada populasi dewasa tuaberdasarkan hipotesis dari insomnia yang terjadi sebagai akibat keyakinan yang bersifat disfungsional dan akibatnya terhadap aktivitas/kehidupan sehari-hari. Tujuan dari CBT ini ialah mengidentifikasi, menganalisis dan mengubah keyakinan tersebut.41
Sleep Hygiene
            Sleep Hygiene merupakan tekhnik edukasi dimana pasien diajarkan tentang efek dari pengaruh lingkungan dan tingkah laku terhadap tidur, demikian pula dengan ekspektasi yang beralasan terkait dengan pengaruh umur individu dan faktor komorbiditas terhadap tidur. Berbagai aspek dalam terapi ini antara lain menghindari konsumsi kafein dan nikotin 6 jam sebelum tidur, menghindari konsumsi alkohol dan makan-makanan berat saat mau tidur, menghindari aktivitas fisik berat saat mau tidur, meminimalisir paparan cahaya, temperatur panas dan kebisingan saat tidur.42
Kontrol Stimulus
            Tujuan dari kontrol stimulus ialah pengaturan ulang dari hubungan antara tempat tidur dan proses tidur itu sendiri. Pendekatan dari kontrol stimulus antara lain menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan berhubungan seks, pergi ke tempat tidur hanya bila kelelahan, keluar dari tempat tidur bila tidak dapat tertidur dalam 20 menit, serta bangun secara rutin pada waktu yang sama tiap harinya.43
Restriksi Tidur
            Pendekatan ini sebagai terapi insomnia meliputi pembatasan waktu tidur saat malam hari dan siang hari, dengan mengobservasi banyaknya waktu yang dihabiskan pasien di tempat tidur, pasien kemudian diatur mengenai jadwal/pola tidur dan berusaha untuk mempertahankan waktu tidur tersebut.44
Pendekatan Terapi Farmakologis
Melatonin
Pada pasien lanjut usia melatonin dapat menyebabkan penurunan periode latensi dari tidur, penurunan keadaan terjaga saat tidur, dan pergerakan ketika tidur. Terdapat bukti bahwa pemberian melatonin pada pasien yang terdiagnosis demensia dapat mengurangi gejala sundowning. Rekomendasi terkini dari penggunaan melatonin untuk gangguan tidur pada usia lanjut ialah penggunaan dosis terendah mungkin dalam bentuk formulasi Immediate Release sehingga dapat menyerupai sekresi fisiologis normal.45
Trazadone
            Trazadone merupakan agen anti insomnia yang sering digunakan baik pada pasien dengan atau tanpa depresi. Berbagai efek samping yang dapat terjadi pada populasi usia lanjut antara lain sedasi, dizziness, hipotensi ortostatik, aritmia, priapismus, dan ganggguan psikomotor. Trazadone relatif dapat ditolerir dibandingkan agen sedasi lainnya dan dapat menurunkan risiko dari efek antikolinergik pada jantung.46
Benzodiazepin
            Kelompok usia lanjut memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap efek samping dari benzodiazepin, yang meliputi efek toleransi, penolakan, sedasi berlebihan, gangguan kognitif, dan risiko terjatuh. Rekomendasi penggunaan benzodiazepin pada usia lanjut meliputi penggunaan jangka pendek, dosis rendah, serta dianjurkan untuk menggunakan preparat obat dengan waktu paruh yang singkat.47
Hipnotik Nonbenzodiazepin
            Hipnotik non benzodiazepin seperti zolpidem, zaleplon, zopiclon, eszopiclon, merupakan obat yang sering digunakan pada kasus insomnia pada semua kelompok umur. Data penelitian yang tersedia menunjukkan penggunaan terapi ini dapat memperbaiki periode latensi dari tidur, kualitas tidur dan secara umum dapat ditolelir dengan baik pada kelompok usia lanjut.48
Antidepresan Sedatif
Antidepresan sedatif kadang digunakan sebagai terapi pada pasien dengan insomnia, terutama bila insomnia terjadi bersamaan dengan depresi. Antidepresan trisiklik kadang digunakan pada kasus tersebut, kendati demikian, pada populasi pasien usia lanjut, terapi ini memiliki efek samping yang cukup besar, meliputi mulut terasa kering, hipotensi postural, aritmia, peningkatan berat badan dan sempoyongan. Mirtazapin menunjukkan efek perbaikan dari efikasi tidur dan total durasi tidur pada pasien dengan depresi. Kendati demikian, data yang mendukung penggunaan mirtazapin pada gangguan tidur yang terjadi pada pasien nondepresi sangat sedikit.48
RINGKASAN
            Gangguan tidur pada usia lanjut memiliki tantangan tersendiri dalam mendiagnosis dan memberikan terapi. Penanganan gangguan tidur bersifat kompleks oleh karena resiko dari efek samping obat pada pendekatan farmakologis, sehingga pendekatan non farmakologis lebih diutamakan bila memungkinkan.

0 komentar:

Posting Komentar