Advertising

Jumat, 29 September 2017

AMILOIDOSIS GINJAL

I.                   PENDAHULUAN

Amiloidosis merupakan penyakit familial yang disebabkan oleh adanya deposit protein fibril ekstraselular dengan karakteristik β-pleated sheet conformation. Penyakit ini bermanifestasi pada beberapa organ dalam tubuh manusia. Organ ginjal merupakan manifestasi yang paling sering dijumpai dan memberikan kontributor mayor dalam hal morbiditas pasien. Amiloidosis pertama kali ditemukan oleh Rudolph Virchow pada tahun 1854, dan pada tahun 1971 pertama kali ditemukan adanya deposit protein amiloid monoclonal light chain. Saat ini, dengan adanya kemajuan teknologi, pemeriksaan mass spectrometry-based proteonomics sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan tipe dari amiloid protein, sampai saat ini, sudah hampir 30 protein-protein amiloidogenik yang sudah teridentifikasi.1-3
            Amiloidosis merupakan penyakit yang sangat jarang dan tidak terdiagnosis. Setiap tahun, diperkirakan 50.000 orang di dunia terkena penyakit ini, dimana di Amerika bagian Utara sendiri sekitar 3.000 orang. Angka kejadian penyakit ini di Indonesia sangat langka dan yang tercatat didapatkan amilodosis lokal pada kulit, yaitu liken amiloidosis  yang telah dilaporkan oleh Harahap dan Hutapea (1970) di Medan. Terdapat 11 penderita liken amiloidosis yang terdiri dari 3 pria dan 8 wanita dengan rentang umur 24 tahun sampai dengan 59 tahun.4 Djuanda dan kawan-kawan (1988) menemukan 78 kasus liken amiloidosis yang terdiri dari jumlah 7 pria dan 71 wanita dengan rentang umur 14 tahun sampai 66 tahun.5 Insidensi dari amiloidosis sendiri diperkirakan sekitar 1/5 didapatkan dari penyakit multiple myeloma, dan insidensinya hampir menyerupai insidensi penyakit Hodgkin atau Chronic Myelogenous Leukemia. Akibat dari sangat jarangnya penyakit amiloidosis ini, mahasiswa kedokteran dan para dokter juga sangat jarang menjumpai penyakit ini di praktek. Terlebih lagi, akibat kondisi penyakit ini kadang tidak spesifik dan sering kali salah sangka dan dianggap  penyebabnya  dari penyakit lain seperti penyakit yang berasal dari jantung atau paru. Sehingga, ada kemungkinan bahwa prevalensi dari penyakit amiloidosis ini lebih besar jumlahnya daripada yang diperkirakan sekarang.6
            Referat ini akan membahas mengenai tipe, patogenesis, gambaran klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan serta prognosis dari penyakit amiloidosis.

II.                TIPE AMILOIDOSIS
            Tipe dari amiloidosis ditentukan dari prekrusor protein tersebut yang mengalami misfolding menjadi deposit fibril-fibril amiloid. Klasifikasi terkini yang ada sekarang adalah berdasarkan kimia material dari amiloid tersebut, menggunakan huruf kapital awalan A untuk amiloidosis, kemudian diikuti huruf kapital yang merupakan huruf awal dari prekrusor protein tersebut, contohnya: light-chain amiloidosis diklasifikasikan sebagai amiloidosis AL, heavy-chain amiloidosis diklasifikasikan sebagai amiloidosis AH, serum A protein amiloidosis diklasifikasikan sebagai  amilodosis AA. Saat ini, sudah lebih dari 30 protein-protein yang membentuk fibril-fibril amiloid yang sudah dikenali.7
Tabel 1 Tipe Amiloidosis8
Tipe
Protein Fibril
Singkatan
Klinis
Sistemik
Light chain immunoglobulin
AL
Gangguan Sel Plasma
Sistemik
Heavy chain immunoglobulin
AH
Gangguan Sel Plasma
Sistemik
Serum Amiloid A
AA
Inflamasi terkait amiloidosis
Sistemik
Transthyretin
ATTR
Amiloidosis familial, amilodosis kardiak senilis
Sistemik
Beta2-microglobulin
Abeta2M
Amiloidosis terkait dialisis
Sistemik
Apoliporpotein AI
AapoAI
Amiloidosis familial
Sistemik
Apolipoprotein AII
AapoAII
Amiloidosis familial
Sistemik
Fibrinogen alpha chain
AFib
Amiloidosis familial
Sistemik
Lisosim
ALys
Amiloidosis familial
Sistemik
Gelsosin
AGel
Amiloidosis familial (Finlandia)
Sistemik
Cystatin C
ACys
Amiloidosis herediter (Islandia)
Sistemik
Prekrusor protein ABri
ABri
Amiloidosis familial (Inggris)
Lokal
Prekrusor protein ADan
ADan
Amiloidosis CNS familial (Denmark)
Lokal
Protein prion
AprP
Creutzfeldt-Jacob disease, Gerstmann-Strȁussler-Scheinker disease, fatal familial insomnia
Lokal
Prekrusor protein beta
Alzheimer syndrome, Down syndrome, hereditary cerebral hemorrhage with amyloidosis (Belanda)
Lokal
Lactoferrin
ALac
Amiloidosis kornea
Lokal
Kerato-epithelin
Aker
Amiloidosis kornea herediter
Lokal
Calcitonin
ACal
Karsinoma tiroid meduler
Lokal
Islet Amyloid Polypeptide (Amylin)
AIAPP
Insulinoma, Diabetes Melitus tipe 2
Lokal
Atrial Natriuretic Factor
AANF
Isolated atrial amyloidosis
Lokal
Prolactin
Apro
Pituitary prolactinomas
Lokal
Lactadherin
AMed
Amiloidosis aorta pada orang tua
Lokal
Galectin 7
AGal7
Amiloidosis kulit
Lokal
Corneodesmosin
ACor
Cornified epithelia, amiloidosis folikel rambut
Lokal
Semenogelin 1
Asem1
Amiloidosis vesicular seminalis
CNS = Central Nervous System

III.             PATOGENESIS
Patogenesis dari penyakit amiloidosis ini melibatkan suatu kompleks yang saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain antara biokimiawi, genetik, lingkungan dan faktor-faktor biologis lain yang menyokong suatu tahapan terjadinya penyakit ini mulai dari terbentuknya deposit dari amiloid sampai terjadinya disfungsi organ. Namun, masih banyak pertanyaan yang ditujukan pada para ahli dalam menyamakan persepsi bagaimana mekanisme secara detail terjadinya penyakit amiloidosis ini. Terdapat tiga hal yang krusial dan proses yang saling tumpang tindih pada penyakit amiloidosis ini:  bagaimana prekrusor protein-protein tersebut berubah bentuk dari struktur alaminya dan membentuk fibril-fibril amiloid, faktor–faktor apa yang mempengaruhi dan bagaimana deposit fibril tersebut membuat kerusakan sel dan jaringan yang berakhir dengan disfungsi organ.9
Berdasarkan mekanisme dasar terbentuknya, protein amiloid dapat dibagi menjadi empat kategori: (1) protein dengan kecenderungan intrinsik membentuk fluktuasi yang lebih lanjut dan meningkat seiring bertambahnya usia, contohnya: Transthyretin; (2) protein yang mana meskipun rentan dalam mengalami denaturasi partial dan agregrasi sendiri, normalnya tidak membentuk deposit amiloid karena kadar konsentrasi serum yang rendah, tetapi jika kadar konsentrasi serum yang tinggi secara persisten, dapat membentuk deposit, contohnya: β2-microglobulin; (3) protein yang mana dalam konversi membentuk fibril akibat adanya mutasi. Pada protein tertentu, mutasi mengakibatkan terjadinya pemecahan proteolitik yang melepaskan suatu fragmen polipeptida yang memiliki kecenderungan tinggi membentuk agregasi fibrilar; (4) protein yang mana akibat adanya baik mutasi dan peningkatan konsentrasi serum, keduanya membentuk deposit amiloid, seperti pada light chain immunoglobulin pada amiloidosis AL.10-11
Suatu keseimbangan yang tepat antara sintesis protein, maturasi dan degradasi sangat penting untuk kelangsungan hidup suatu sel. Folding dari protein pada sel merupakan proses sentral yang sangat rentan terjadi kesalahan, mulai dari proses transkripsi sampai sekresi. Proses ini benar-benar diregulasi dengan ketat secara molekular dan memerlukan konsumsi energi yang cukup tinggi. Protein yang tidak mencapai folding yang sempurna akan dihancurkan. Namun, protein-protein amiloidogenik dapat lolos dari proses degradasi ini.  Sebagai tambahan dari protein amiloidogenik yang utama, amiloid mengandung suatu unsur pokok di dalamnya yang disebut komponen serum amiloid P (SAP). Serum amiloid P ini adalah suatu glikoprotein dengan reseptor pengikat yang khusus dalam pembentukan amiloid, lokasinya pada permukaan B dari bentuk pentameric (pentraxin) dari protein. Serum amiloid P ini melindungi fibril-fibril amiloid dari beberapa enzim protease dan dari aktivitas fagosistosis sel.12
Selain adanya SAP, pada setiap deposit amiloid juga terdapat glycosaminoglycans (GAGs), terutama Heparan Sulphate Proteoglycans (HSPG) yang diduga mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pembentukan dan stabilisasi deposit amiloid.13 Heparan sulphate mempunyai peran aktif dalam pembentukan amiloid dan peranan pasif dalam akumulasi deposit amiloid.14 Salah satu hipotesis mengungkapkan peranan dari proteoglycans dalam membentuk stuktur-struktur bertingkat yang memfasilitasi adhesi dan orientasi dari beberapa deposit amiloid yang pada akhirnya akan membentuk suatu oligomer.
Setelah terbentuk oligomer ini, dikatakan terdapat mekanisme toksisitas langsung ke jaringan. Kandungan dari oligomer tersebut (deposit amiloid dalam jumlah besar) dapat merusak arsitektur dari jaringan dan menyebabkan disfungsi organ. Namun mekanisme toksisitas langsung saja belum cukup menjelaskan penyebab kerusakan jaringan pada penyakit amiloidosis. Pada penelitian lain dijelaskan bahwa deposit fibril-fibril amiloid berinteraksi dengan reseptor lokal seperti Receptor for Advanced Glycation End-products (RAGE), dan akan memicu respon inflamasi dan juga menginduksi pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) yang akan menginduksi terjadinya stress oksidatif, sehingga akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan dan disfungsi organ.15-16





Gambar 1 Patogenesis Amiloidosis17
Keterangan Gambar: GAGs: glycosaminoglycans; SAP: Serum Amiloid Protein

IV.             GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari penyakit amiloidosis ini sangat bervariasi, sehingga cukup sulit dalam menentukan diagnosis. Secara sederhana, gambaran klinis ini dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu bentuk lokal dan sistemik. Amiloidosis yang lokal umumnya terbatas pada 1 tempat dan biasanya tidak membahayakan. Pada kulit sering dijumpai deposit amiloid berupa plak yang asimptomatik, fisura atau berupa nodul. Amiloidoma merupakan lesi manifestasi amiloidosis AIns pada kulit yang terbentuk di sekitar tempat bekas suntikan pada pasien diabetes. Amiloidosis AL yang biasanya bermanifestasi sistemik mempunyai varian lokal.18 Lesi kulit nodular pada amiloidosis AL, terbentuk sebagai respon terhadap reaksi inflamasi lokal yang disebabkan sel plasma monoklonal. Pada pasien dengan amiloidosis yang sifatnya lokal, selain lesi pada kulit bisa juga didapatkan mikroskopis atau gross hematuria (vesica urinaria), pasien mengalami perubahan suara yang tidak dapat dijelaskan (deposit amiloid pada laring).
Amiloidosis yang sifatnya sistemik biasanya melibatkan organ-organ visceral atau beberapa jaringan. Gejala tidak terbatas pada satu organ saja, tetapi bisa juga menyebabkan gagal multi organ. Salah satu bentuk amiloidosis sistemik yang paling sering adalah amiloidosis AL, yang mana perbandingannya 20:1 di Amerika Serikat, jika dibandingkan dengan amiloidosis AA. Organ yang paling sering terkena baik amiloidosis AL maupun AA adalah ginjal. Gambaran klinis proteinuria didapatkan 73% dari pasien amiloidosis AL, 30% diantaranya menderita sindrom nefrotik. Insufisiensi renal tercatat hampir separuh dari pasien yang mengalami proteinuria, tetapi didapatkan juga pada pasien tanpa proteinuria dengan gangguan vaskular ginjal.19 Pada amiloidosis AA, secara universal 97% organ ginjal terkena.20
Gejala utama amiloidosis pada ginjal adalah proteinuria, (tergantung pada lokalisasi dari deposit amiloid) sebagian besar berasal dari glomerulus dan didapatkan albuminuria. Oleh karena itu, amiloidosis harus selalu dianggap sebagai kemungkinan diagnosis banding pada pasien dengan proteinuria, terutama dengan adanya tanda-tanda sistemik dari amiloidosis. Untuk proteinuria dalam kisaran nephritic (>3,5 gr/dl, terutama albumin),  kemungkinan lokasi dari deposit amiloid terdapat di intraglomerular. Sindrom nefritik disertai dengan disproteinemia dengan hipoalbuminemia dengan edema jelas, hiperlipidemia, penurunan fungsi ginjal (opsional) dan kecenderungan terjadinya trombosis. Jika deposit ditemukan terutama di tubulointerstitium, proteinuria umumnya kurang jelas (Bence Jones proteinuria). Deposit terletak di dinding pembuluh dapat menyebabkan hipertensi, yang sangat jarang pada amiloidosis.21
Jantung adalah organ yang paling umum berikutnya yang terkena pada amiloidosis AL dengan temuan ekokardiografi abnormal tercatat sebanyak 65% dari pasien. Gambaran klinis bervariasi dari tanpa gejala sampai penurunan perlahan dalam kapasitas latihan, kelelahan, dispneu dan edema ekstremitas bawah. Jika sudah bertambah parah, dapat memberikan gejala angina, sinkop, ascites dan edema anasarka. Terjadi gagal jantung pada 24% pasien. EKG low voltage dan penebalan dinding ventrikel yang konsentris pada echocardiogram adalah tanda-tanda klasik dari keterlibatan jantung pada amiloidosis. Pada amiloidosis AA keterlibatan jantung jarang terjadi (hanya 1% dari pasien).22
Deposit amiloid pada sistem saraf  menonjol dalam beberapa bentuk amiloidosis dan dapat melibatkan saraf pusat, saraf perifer, atau keduanya. Gambaran klinis keterlibatan  saraf perifer dapat berupa progresif paresthesia bilateral distal atau carpal tunnel syndrome. Gangguan saraf otonom ditandai dengan sinkop, disfungsi ereksi, gastroparesis dan diare.
Gejala yang paling umum untuk penyakit amiloidosis termasuk kelelahan dan penurunan berat badan, dilaporkan dialami lebih dari setengah dari pasien. Berat badan, bagaimanapun, tidak dapat dijadikan patokan pada pasien dengan sindrom nefrotik karena berat badan akan bertambah jika edema yang dialami memburuk. Gambaran klinis pada saluran pencernaan biasanya jarang, dapat berupa macroglossia, mual, muntah, dan pseudoobstruction, yang dijumpai 10% dari kasus amiloidosis AL. Hepatomegali didapatkan sebanyak 24% dari pasien amiloidosis AL tetapi hanya 9% dari amiloidosis AA. Memar-memar juga sering terjadi setelah prosedur operasi atau trauma ringan, terutama di sekitar mata.

V.                DIAGNOSIS
Pasien dengan gambaran disfungsi multi organ harus diskrining untuk penyakit amiloidosis. Dalam mendiagnosis pasien akan lebih sulit bila hanya tedapat keterlibatan satu macam organ saja, karena kondisi ini menyerupai penyakit umum lainnya yang lebih sering dijumpai. Skrining harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya, neuropati dan sindrom nefrotik. Petunjuk yang meningkatkan kecurigaan termasuk gambaran EKG low voltage, hipotensi berat tanpa pengobatan dengan antihipertensi, dan adanya neuropati disertai keterlibatan organ-organ lain.



Berikut ini tahap-tahapan dalam mendiagnosis penyakit amiloidosis:
1.      Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan protein monoklonal dari serum harus dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai suatu amiloidosis. Amiloidosis AL merupakan penyakit yang tersering dan merupakan bentuk amiloidosis yang berbahaya. Sebagai tambahan, bisa dilakukan pemeriksaan serum light chain, jika pemeriksaan serum light chain ini dilakukan,  sensitivitasnya dapat meningkat sekitar 10-15%.23 Biopsi sumsum tulang harus dilakukan jika teridentifikasi adanya protein monoklonal atau jika jenis amiloid adalah tipe AL atau AH. Laju Endap Darah (LED) akan meningkat pada pasien dengan protein monoklonal. LED dan C-reaktif protein juga akan meningkat pada pasien dengan riwayat penyakit infeksi dan  inflamasi kronik. Kadar Serum Amiloid A (SAA) juga dapat diukur langsung. Meskipun terdapat korelasi yang baik antara C-reaktif protein dengan SAA, penelitian menemukan bahwa SAA lebih sensitif dalam mengidentifikasi pasien yang beresiko berkembang menjadi amiloidosis AA dan nilai prognosis yang lebih baik. Sayangnya, pemeriksaan ini tidak disetujui untuk dilakukan di Amerika Serikat.24

2.      Urinalisis
Seperti pada pemeriksaan darah, jika dicurigai suatu amiloidosis, perlu juga pemeriksaan protein monoklonal dari urine. Pemeriksaan urinalisis lain yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan protein baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemeriksaan urinalisis sangat penting dilakukan pada penyakit amiloidosis yang bermanifestasi pada ginjal karena gambaran klinis awal yang dijumpai pada amiloidosis yang bermanifestasi pada ginjal adalah proteinuria atau albuminuria, sebelum berkembang menjadi tahap lanjut yang dapat dijumpai peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang didapatkan pada pemeriksaan darah.24  

3.      Biopsi
Meskipun pemeriksaan skrining sangat membantu, diagnosis secara histologis dan biopsi jaringan sangat perlu dilakukan. Secara umum, sensitivitas dan spesifisitas tertinggi diperoleh dengan membuat biopsi pada organ yang mengalami disfungsi. Melalui biopsi, dari penelitian mengungkapkan sensitivitas yang diperoleh melalui biopsi berturut-turut pada jantung (100%), hati (97 %), dan ginjal (94%). Walaupun terdapat resiko perdarahan, resiko ini tidak lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit amiloidosis yang menjalani prosedur biopsi sesuai standar prosedur.25 Bagian yang paling mudah dicapai pada saat biopsi adalah lemak abdominal, sensitivitasnya ~ 80%. Bagian rektum juga sering menjadi lokasi yang mudah untuk dibiopsi, sensitivitasnya 75%. Biopsi sumsum tulang juga didapatkan deposit amiloid, tetapi sensitivitasnya hanya 56%. Amiloid juga dapat ditemukan pada kelenjar tiroid, akan tetapi insidensinya tidak diketahui dan tidak ada data sensitivitasnya. Dikarenakan relatif aman, jika pasien dicurigai menderita penyakit amiloidosis, jangan ragu untuk melakukan tindakan biopsi.

4.      Histokimiawi
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pewarnaan Hematoxylin dan Eosin memberikan gambaran substansi amorf ekstraselular berwarna merah muda terang. Memberikan hasil negatif bila pemeriksaan dilakukan dengan pewarnaan periodic acid-Schiff dan pewarnaan methenamine silver, dan berwarna biru atau abu pada pewarnaan trichrome. Pewarnaan baku emas untuk diagnosis amiloidosis adalah dengan pewarnaan Congo Red. Penggunaan pewarnaan Congo Red akan memberikan diagnosis definitif pada hampir 100% kasus. Semua bentuk amiloid akan menunjukan afinitas jika diwarnai dengan pewarnaan Congo Red dan memberikan gambaran apple-green birefringence di bawah mikroskop cahaya polarisasi. Gambaran ini merupakan karakteristik yang membedakan amiloid dengan fibril-fibril yang lain. Untuk mendapatkan visualisasi terbaik dari deposit amiloid yang berukuran kecil, bagian jaringan yang diberi pewarnaan Congo Red paling tidak berukuran tebal 6-10 µm. Perhatikan terutama sekali pada dinding pembuluh darah, di mana paling sering ditemukan deposit amiloid pada semua jaringan. Teknik pewarnaan ini mampu mendiagnosis amiloidosis pada 70-80%  pasien.

5.      Mikroskop Elektron
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron rutin dilakukan untuk menganalis sampel dari biopsi ginjal di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam mendiagnosis karena fibril amiloid memiliki gambaran karakteristik yang unik jika diperiksa dengan mikroskop elektron. Fibril-fibril amiloid biasanya tersusun secara acak, tidak bercabang dan solid, berukuran diameter antara 7 dan 12 nm. Bagian tengahnya melekuk membentuk mikrotubulus. Tetapi pada prakteknya, tidak rutin dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop elektron untuk mendiagnosis amiloidosis.


6.      Amyloid Typing
Setelah amiloid sudah terindentifikasi, penggolongan dan typing harus dilakukan. Pemeriksaan mikroskop dengan direct immunofluorescence, merupakan metode pemeriksaan yang tepat dan merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Pemeriksaan ini paling bermanfaat untuk kasus deposit amiloid yang mengandung komponen immunoglobulin. Amiloidosis AL dan atau AH dapat dilakukan typing  dengan immunofluorescence dengan FITC-labeled antibodies terhadap IgA, IgM, IgG, κ, dan λ light chain. Untuk amiloidosis AL, hanya satu dari light chain immunoglobulin yang positif. Untuk amiloidosis AH, yang memberikan hasil positif adalah heavy chain immunoglobulin tanpa light chain immunoglobulin, sedangkan jika didapatkan keduanya positif, dinamakan amiloidosis ALH.
Alternatif lain adalah menggunakan pemeriksaan imunohistokimiawi, yaitu menggunakan pewarnaan imunoperoksidase dari jaringan yang sudah diberi paraffin dan formalin. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk mendeteksi AL, AH, AA, AFib, ATTR, AApoA1, dan Aβ2m. pemeriksaan imunohistokimiawi juga membantu dalam mendeteksi antibodi terhadap Serum Amiloid Protein (SAP), yang biasanya melekat pada deposit amiloid. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk membedakan deposit light chain pada amiloidosis AL dari penyakit deposit immunoglobulin monoklonal yang lain.

7.      Tes Genetik
Beberapa deposit amiloid merupakan hasil dari mutasi genetik, sehingga pemeriksaan genetik merupakan suatu bagian yang penting dalam proses typing. Mutasi terdeteksi pada semua bentuk amiloidosis herediter, contohnya amiloidosis ATTR, amiloidosis AApoAI, AApoAII, amiloidosis ALys, amiloidosis AFib and amiloidosis AGel (gelsolin). Tes genetik yang dilakukan adalah dengan tes sequencing DNA. Pemilihan gen yang akan dilakukan sequencing berdasarkan gambaran klinis dan hasil dari pemeriksaan histologi dan imunohistokimiawi sebelumnya.26

8.      Proteomics
Proteomics dilakukan dengan cara mass spectrometry, yang mana mempunyai kemampuan mengidentifikasi seluruh proteome yang ada. Dikarenakan pemeriksaan mass spectrometry tergantung kadar konsentrasinya, protein tersebut harus dipisahkan sebelum dilakukan analisis. Pemisahan tersebut dapat dikerjakan dengan beberapa teknik, termasuk gel elektroforesis, tetapi yang paling efisien adalah dengan cara  liquid chromatography.
Baku emas dalam mengaplikasikan proteomics untuk typing amiloid saat ini adalah dengan menggunakan laser microdissection diikuti dengan mass spectrometry (LMD-MS). Area yang positif dengan pewarnaan Congo Red, dilakukan diseksi dengan menggunakan  laser dissecting microscopy diikuti dengan tryptic digestion. Kemudian peptida tersebut akan dianalisa dengan metode liquid chromatography electrospray disertai mass spectrometry. Hasilnya akan diolah dengan 3 alogaritma yang berbeda dan disertai dengan nilai probabilitas. Pada penelitian dengan menggunakan 50 sampel biopsi jaringan yang berbeda dan mengandung berbagai jenis tipe amiloid, LMD-MS dapat mengidentifikasi 50 dari 50 sampel tersebut secara tepat. Pada tes validasi, LMD-MS mengidentifikasi 41 dari 40 sampel amiloid, sedangkan imunohistokimiawi hanya dapat mengidentifikasi 15 dari 36 sampel. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa LMD-MS mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi semua protein amiloid yang sudah diketahui dengan akurasi 100%, dan dapat juga mengidentifikasi protein amiloid baru yang belum dikenali. Pemeriksaan LMD-MS dapat dilakukan tanpa memperhatikan gejala dari pasien, dan tanpa perlu mengetahui riwayat klinis sebelumnya.27,28

9.      Pencitraan
Ada 2 modalitas pencitraan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya amiloid dalam tubuh. Meskipun secara umum tidak digunakan untuk tujuan diagnostik, pemeriksaan ini cukup bermanfaat dalam mendeteksi amiloid dalam tubuh setelah diagnosis dibuat. Modalitas pencitraan pertama adalah MRI. Sangat bermanfaat untuk mendeteksi deposit amiloid pada jantung. Akurasi MRI jantung dalam mendeteksi deposit amiloid dapat mencapai 97%. Sayangnya, temuan deposit pada jantung ini dikaitkan dengan amiloidosis tahap lanjut, dan sensitivitas mungkin lebih rendah pada kasus amiloid yang masih dini.
Teknik pencitraan lainnya adalah dengan menggunakan skintigrafi  123I-SAP. Teknik ini menggunakan radioaktif yang dilabeli komponen Serum Amiloid P untuk mendeteksi deposit amiloid dalam tubuh.29,30 Dikarenakan SAP terikat pada semua amiloid, pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk semua tipe amiloidosis. Deposit dapat dihitung jumlahnya melalui skintigram, dan hasilnya dapat digunakan untuk memonitoring pengurangan amiloid setelah pengobatan atau rekurensi setelah transplantasi organ.31,32 Akan tetapi, SAP skintigrafi kurang baik dalam menilai deposit amiloid pada jantung, sehingga jika dicurigai terdapat deposit pada jantung, maka dapat dilakukan pemeriksaan MRI atau ekokardiografi. Pemeriksaan  123I-SAP skintigrafi saat ini sudah dilakukan di Eropa, tetapi belum dilakukan di Amerika Serikat.

VI.             PENATALAKSANAAN
Deposit amiloid yang sedang berlangsung di ginjal dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal yang progresif. Dalam kelompok pasien yang menderita amiloidosis AL dengan keterlibatan ginjal yang diamati selama tahun 1980-an, pada akhirnya jatuh ke gagal ginjal tahap akhir, terjadi pada rata-rata hanya 14 bulan setelah terdiagnosis. Secara keseluruhan, kerusakan ginjal mungkin adalah yang paling cepat pada amiloidosis AL. Perubahan hemodinamik sebagai akibat dari sindrom nefrotik berat, disfungsi otonom, atau gagal jantung sering mendasari perubahan mendadak dalam fungsi ginjal dan memberikan kontribusi yang mengarah pada perburukan fungsi ginjal.
Amiloidosis AL
Tujuan dari pendekatan pengobatan saat ini untuk amiloidosis AL adalah untuk mengeradikasi sel-sel plasma klonal yang menghasilkan light chain amyloidogenic. Prognosis amiloidosis AL telah meningkat secara substansial selama dekade terakhir dengan meningkatnya penggunaan pengobatan anti-plasma sel yang agresif. Beberapa regimen kemoterapi telah dievaluasi, dan melphalan dosis tinggi intravena diikuti dengan transplantasi autologus stem cell untuk mendukung pemulihan sumsum tulang (HDM / SCT) merupakan terapi yang paling mungkin untuk menghilangkan sel-sel plasma klonal. Pengalaman dari beberapa pusat pengobatan telah menyarankan bahwa 25 sampai 50% dari pasien yang menjalani pengobatan tersebut memiliki respon hematologi lengkap, yang berarti bahwa tidak ada bukti dari produksi yang sedang berlangsung dari monoclonal light chain. Dosis regimen standar baku emas saat ini untuk amiloidosis AL adalah melphalan 10 mg/m2/hari, hari 1-4, ditambah dosis tinggi oral deksametason 40 mg/hari, hari 1-4 (M-Dex), setiap 28 hari sampai remisi stabil dengan maksimum dua belas bulan.33
Berkembangnya pengobatan myeloma yang lebih baru memberikan jalan untuk mengembangkan alternatif pengobatan amiloidosis AL di Belgia. Beberapa pasien yang menderita multiple myeloma dan menderita amiloidosis AL diberikan kombinasi agen kemoterapi baru. Bortezomib sebagai agen tunggal, menginduksi respon hematologi yang cepat dalam 50% dari pasien, dengan 20% Complete Remission (CR). Kombinasi bortezomib, siklofosfamid, dan deksametason (VCD) telah diteliti dalam dua analisis retrospektif melaporkan hasil dengan 81,4-94% respon hematologi dan 39,5-71% complete remission (CR). Regimen ini tepat diberikan pada penderita amiloidosis AL dengan keterlibatan organ jantung. Pengobatan dengan diberikan selama dua sampai delapan siklus mingguan atau dua mingguan bortezomib 1.3 mg/m2, siklofosfamid 300-700 mg secara oral per minggu, dan deksametason 40 mg sekali atau dua kali seminggu, dan dilanjutkan dengan transplantasi autologus stem cell pada pasien yang memenuhi syarat. Pada pasien dengan penyakit jantung tahap lanjut, bortezomib harus digunakan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan penurunan mendadak dalam ejeksi fraksi ventrikel kiri. Pemberian bortezomib subkutan per minggu lebih dianjurkan pada amiloidosis AL. Bahkan pada pasien dengan resiko tinggi amiloidosis AL di jantung, regimen VCD dapat mencapai respon hematologi yang baik dan perbaikan fungsi jantung.

Amiloidosis AA
Pendekatan pengobatan amiloidosis AA bertujuan untuk mengatasi kondisi inflamasi kronik yang mendasarinya dan mengurangi produksi prekusor amiloid protein, yaitu protein serum A.  Pemantauan kadar protein amiloid serum A sangat penting untuk menilai apakah supresi pada penyakit yang mendasari sudah adekuat. Kadar protein amiloid serum A merupakan prediktor yang sangat kuat untuk survival pasien dan fungsi ginjal. Mengendalikan penyakit yang mendasari, dengan cara mengurangi kadar acute phase reactant, termasuk kadar SAA yang beredar, merupakan strategi yang paling efektif untuk stabilisasi atau bahkan regresi dari deposit amiloid. Remisi dari amiloidosis yang bermanifestasi dengan gambaran sindrom nefrotik, didapatkan dengan pemberian obat-obatan tuberkulostatik.34 Kolkisin dosis tinggi (1.5–2 mg/hari) efektif dalam mengontrol inflamasi sistemik seperti pada Familial Mediteranian Fever (FMF), dan menginduksi remisi amiloidosis AA. Pengobatan dengan immunomodulator  juga terbukti sangat berguna dalam mengendalikan proteinuria dan meningkatkan survival jangka panjang pada beberapa penyakit peradangan sendi dan inflammatory bowel disease. Chlorambucil, cyclophosphamide, tacrolimus, dan anti-TNF-alpha atau anti-IL-6 antibodi, seperti infliximab, etanercept, atau tocilizumab adalah beberapa contoh obat yang dapat digunakan. Tocilizumab, suatu anti-IL-6 antibodi monoklonal, terbukti sangat efektif dalam mengurangi kadar SAA yang beredar dan mengendalikan perkembangan amiloidosis pada beberapa penyakit sendi autoimun.35
 Dimethyl sulfoxide adalah molekul turunan dari low-density lipoprotein intraseluler, yang merusak ikatan hidrogen. Telah diuji pada pasien dengan deposit amiloid pada gastrointestinal dan amiloidosis ginjal, dapat menurunkan kadar acute phase reactant dan memperbaiki keluhan gastrointestinal, juga dapat mengurangi deposit amiloid.
Eprodisate (Kiacta) suatu obat dengan berat molekul rendah yang mirip dengan heparan sulfat. Dengan cara kerja binding competitive  dengan tempat GAG union,  sehingga menghambat polimerisasi fibril amiloid dan mencegah stabilisasi deposit amiloid.
Heparins dan statin juga memiliki efek menguntungkan pada amiloidosis AA. Adanya heparin dan statin dapat memperlambat progresivitas penyakit dengan memecah ikatan yang menstabilkan antara GAG dan SAA pada deposit amiloid, mirip dengan cara kerja eprodisate.36

VII.          PROGNOSIS
Dengan tidak adanya kemoterapi, amiloidosis AL selalu menjadi progresif. Prognosis terburuk dikaitkan dengan gejala klinis keterlibatan jantung, dengan tingkat survival rate 6 bulan. Prognosis tidak dipengaruhi oleh proliferasi sel plasma. Namun, teriidentifikasinya populasi sel plasma neoplastik mempengaruhi survival, dan infiltrasi sel plasma di atas 10% pada sumsum tulang dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. Pasien dengan keterlibatan terbatas pada saraf perifer memiliki survival rate lebih panjang. Faktor prognostik lain yang menguntungkan termasuk fungsi ginjal normal. Untuk amiloidosis ginjal, respon klinis bermakna didefinisikan sebagai 50% penurunan (setidaknya 0.5 g/hari) dari protein urin 24 jam, tidak adanya pengurangan laju filtrasi glomerulus (eGFR) ≥25% atau peningkatan serum kreatinin ≥0.5 mg/dL.
Prognosis untuk penyakit amiloidosis AA, tanpa memperhatikan prognosis dari penyakit primer yang mendasarinya, dikaitkan dengan derajat kerusakan ginjal pada saat terdiagnosis. Prognosis yang buruk dihubungkan dengan kadar serum kreatinin lebih dari 2 mg/dL atau kadar serum albumin kurang dari 2.5 g/dL. Pasien mean survival berkisar 2-3 tahun, tetapi dengan adanya terapi pengganti ginjal, survival meningkat mencapai 4 tahun. Pada kasus dengan tahap lanjut, infeksi merupakan penyebab utama kematian. Dengan penggunaan anti-infeksi yang agresif, peningkatan survival adalah suatu hal memungkinkan.



VIII.       RINGKASAN
Amiloidosis merupakan penyakit familial yang disebabkan oleh adanya deposit protein fibril ekstraselular dengan karakteristik β-pleated sheet conformation. Penyaktit ini bermanifestasi pada beberapa organ dalam tubuh manusia. Organ ginjal merupakan manifestasi yang paling sering dijumpai dan memberikan kontributor mayor dalam hal morbiditas pasien.
Tipe dari amiloidosis ditentukan dari prekrusor protein tersebut yang mengalami misfolding menjadi deposit fibril-fibril amiloid. Klasifikasi terkini yang ada sekarang adalah berdasarkan kimia material dari amiloid tersebut
Gambaran klinis dari penyakit amiloidosis ini sangat bervariasi, sehingga cukup sulit dalam menentukan diagnosis. Secara sederhana, gambaran klinis ini dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu bentuk lokal dan sistemik.
Beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam mendiagnosis penyakit amiloidosis ini adalah mulai dari pemeriksaan darah rutin dan urinalisis, biopsi, histokimiawi, mikroskop elektron, amyloid typing, tes genetik, proteonomics sampai pencitraan untuk mendapatkan diagnosis penyakit amiloidosis yang tepat dan akurat.
Penatalaksanaan penyakit amiloidosis ini tergantung penyebabnya. Beberapa regimen kemoterapi telah dievaluasi, dan melphalan dosis tinggi intravena diikuti dengan transplantasi autologus stem cell untuk mendukung pemulihan sumsum tulang (HDM / SCT) merupakan terapi yang paling mungkin untuk menghilangkan sel-sel plasma klonal.

0 komentar:

Posting Komentar