PENDAHULUAN
Tidur merupakan suatu proses yang
bersifat pasif dan dianggap sebagai keadaan dorman dari kehidupan kita.
Aktivitas otak menjadi sangat aktif ketika manusia sedang tidur. Siklus tidur dan
bangun diatur oleh jam tubuh (body clock).
Body clock terletak didalam otak
yaitu nucleus suprachiasmatic dan
mempunyai periode selama 24 jam. Selama satu periode 24 jam, manusia mempunyai
waktu tidur normal selama 6-10 jam. Pola tidur manusia dipengaruhi oleh umur
hal ini ditunjukkan dengan adanya gambaran khas pada kelompok usia bayi,
dewasa, dan orang tua.1
Gangguan tidur merupakan gejala
utama yang cukup sering dikeluhkan oleh pasien lanjut usia saat berobat ke
pengobatan fasilitas primer atau ke psikiatri. Diperkirakan bahwa lebih dari
50% populasi lanjut usia paling tidak memiliki minimal satu keluhan terkait
tidur.2 Pada lanjut usia, gangguan tidur dapat meningkatkan risiko
jatuh, penurunan kualitas hidup, kebutuhan akan perawatan dirumah, serta
motalitas.3 Seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan
pada irama tidur yang mana dapat mempersulit identifikasi dari gangguan tidur.
Gangguan tidur pada lanjut usia
dipengaruhi oleh faktor medis, psikiatris, gaya hidup, kognitif, serta faktor
lingkungan. Pasien lanjut usia juga memiliki kerentanan yang lebih tinggi
terhadap efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menginisiasi dan
memperbaiki fungsi tidur.3Pada referat ini akan membahas tentang
gangguan tidur pada usia lanjut.
PENGERTIAN TIDUR
Definisi dari tidur
merupakan suatu kondisi tidak sadar di mana individu dapat dibangunkan oleh
stimulus atau sensori yang sesuai, atau juga dapat dikatakan suatu keadaan
tidak sadarkan diri yang relatif, bukan hanya keadaan penuh ketenangan tanpa
kegiatan, akan tetapi lebih merupakan suatu urutan siklus yang berulang, dengan
ciri adanya aktivitas yang minim, memiliki kesadaran bervariasi, terdapat
perubahan proses fisiologis, dan terjadi respons terhadap rangsangan dari luar.
FISIOLOGI TIDUR
Tidur merupakan aktivitas susunan saraf pusat,
dimana ketika seseorang sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya
tidak aktif melainkan sedang bekerja. Sistem yang bekerja mengatur siklus ini
adalah Reticular Activating Aystem (RAS)
dan Bulbar Synchronizing Regional (BSR)
yang terletak pada batang otak.Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu:4
1. Pergerakan
mata cepat atau Rapid Eye Movement (REM)
2. Pergerakan
mata tidak cepat atau Non Rapid Eye
Movement (NREM)
Tidur
diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium lalu diikuti oleh fase
REM. Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam satu
malam. Empat fase NREM yakni:4
1. Tidur
stadium satu
Tahap ini merupakan tahap transisi, berlangsung
selama 5 menit yang mana seseorang beralih dari sadar menjadi tidur. Seseorang
merasa kabur dan relaks, mata bergerak ke kanan dan kiri, kecepatan jantung dan
pernafasan turun secara jelas. Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur
yang dangkal dan dapat terbangun dengan mudah oleh suara atau gangguan lain. Selama
tahap ini, mata akan bergerak perlahan dan aktivitas otot melambat.4
2. Tidur
stadium dua
Tahap ini merupakan tahap tidur ringan, dan proses
metabolisme tubuh menurun.Denyut jantung melambat dan suhu tubuh menurun. Pada
tahap ini gerakan bola mata berhenti. Biasanya tahap ini berlangsung selama 10
hingga 15 menit.4
3. Tidur
stadium tiga
Pada tahap ini tidur lebih dalam dari tahap
sebelumnya. Kecepatan denyut jantung, pernafasan serta metabolisme tubuh
berlanjut mengalami penurunan akibat dominasi saraf parasimpatik. Pada tahap
ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun maka individu tersebut
tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa
menit.4
4. Tidur
stadium empat
Ini merupakan tahap tidur paling dalam. Gelombang
otak sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot untuk
memulihkan energi fisik.4
Fase NREM ini biasanya berlangsung selama 70 hingga
100 menit setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama
prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat
menjelang pagi atau bangun. Tidur tipe ini disebut juga “Paradoksikal” karena
hal ini bersifat paradoks yaitu seseorang tetap tertidur walaupun aktivitas
otaknya nyata.4
Efek fisiologis yang terjadi pada saat tidur
meliputi reduksi dari tekanan darah, pulsasi nadi saat fase NREM dan REM,
aritmia jantung episodik saat fase REM, pernafasan yang ireguler saat fase REM,
penurunan fungsi termoregulasi saat fase NREM dan kembali saat fase REM.
Perubahan optik refraksi pada mata (peningkatan opasitas lensa, miosis senilis)
akan menyebabkan penurunan penghantaran cahaya ke retina, dimana hal tersebut
dapat mempengaruhi irama sikardian.4
Perubahan irama sikardian
menyebabkan seseorang pergi tidur dan terbangun lebih awal. Melatonin yang
berfungsi dalam regulasi dan efisiensi tidur akan menurun sekresinya seiring
dengan bertambahnya umur, menyebabkan gangguan pada irama sikardian.5,6
GANGGUAN TIDUR PADA
USIA LANJUT
Insomnia
Berdasarkan kriteria diagnosis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, insomnia didefinisikan sebagai ketidakpuasan terhadap kualitas
atau kuantitas tidur yang berhubungan dengan kesulitan dalam mengawali dan
mempertahankan tidur serta bangun terlalu pagi yang mana hal tersebut
menyebabkan gangguan yang signifikan dengan frekuensi kejadian minimal 3 malam
per minggu dalam 3 bulan berturut-turut yang mana terjadi pada keadaan ideal
untuk tidur dan tidak terkait dengan sebab dari penyakit lain atau penggunaan
zat tertentu. Insomnia diklasifikasikan menjadi 3 bentuk:7
·
Short
Term Insomnia
Sebelumnya
dikenal sebagai insomnia akut, insomnia terkait stress atau insomnia transien,
yang umumnya terjadi dalam jangka waktu kurang dari 3 bulan. Gejalanya bersifat
sementara terhadap stressor yang muncul. Insomnia ini diharapkan akan
menghilang setelah stressor dapat ditangani atau setelah muncul respon adaptif
terhadap stressor tersebut.
·
Chronic
Insomnia
Insomnia ini
ditandai dengan gangguan tidur yang terjadi minimal 3 malam dalam seminggu
selama 3 bulan atau lebih dan tidak berhubungan dengan penyebab inadekuasi
tidur lainnya (masalah tidur lainnya).
·
Other
Insomnia
Merupakan kondisi
dimana tidak memenuhi kriteria dari insomnia akut dan kronik.
Prevalensi dari gangguan tidur akan meningkat
seiring dengan bertambahnya umur. Umur dan jenis kelamin merupakan faktor
risiko tersendiri dari gangguan tidur, dimana umur yang tua dan jenis kelamin
wanita merupakan kelompok dengan prevalensi terbanyak. Prevalensi insomnia pada
wanita akan meningkat baik pada saat menstruasi atau pada saat menopause.7
Obstructive
Sleep Apnea
Obstructive
Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan tidur yang
didapati pada 3%-7% dari populasi dewasa pria dan 2%-5% pada populasi dewasa
wanita yang ditandai oleh kolapsnya jalan nafas secara berulang baik bersifat
total atau parsial dan dapat menyebabkan hipoksemia, fragmentasi dari tidur
serta penurunan kualitas tidur.8 OSA sering terjadi pada kelompok usia
lanjut, dengan insidensi kejadian mencapai 24% hingga 42% dari populasi usia
lanjut mengalami 5 episode atau lebih apnea dalam satu jam periode tidur.9
Faktor risiko klasik dari OSA (obesitas/lingkar leher yang pendek) jarang
ditemukan pada kelompok usia lanjut, menyebabkan identifikasi faktor risiko OSA
pada usia lanjut cukup sulit dilakukan.
OSA sering dikaitkan dengan efek kardiovaskular. OSA
berhubungan dengan hipertensi dan hal tersebut bersifat independen terhadap
obesitas, dimana gejala OSA dapat membaik pasca terapi hipertensi. OSA juga
berhubungan dengan penyakit arteri koroner baik yang bersifat klinis maupun
subklinis, termasuk dengan insidensi penyakit dan mortalitas yang tinggi
terkait penyakit kardiovaskular.10 Mekanisme dari hubungan antara
OSA dan penyakit kardiovaskular tampaknya dipengaruhi oleh hipoksia intermiten,
inflamasi, aktivasi tonus simpatik, serta fragmentasi pada tidur, yang mana hal
tersebut akan berdampak pada disfungsi endotel, hiperkoagulabilitas,
vasokontriksi, dan aterosklerosis.10 Asosiasi serupa juga ditemukan
antara OSA dan sindrom metabolik, dimana hal tersebut juga dapat meningkatkan
kejadian mortalitas terkait gangguan kardiovaskular.10
Gejala neuropsikiatrik seperti gangguan kognitif dan
afektif, dapat disebabkan oleh OSA, sehingga deteksi permasalahan terkait
gangguan tidur merupakan hal penting untuk dilakukan, terutama pada populasi
lansia. Apnea-Hypopnea Index (AHI)
digunakan dalam mendiagnosis apneu saat tidur. Sistem perhitungan ini digunakan
untuk menilai jumlah episode apneu pasien (hilangnya siklus pernafasan dalam 10
detik atau lebih) yang berhubungan dengan desaturasi oksigen. Diganosis sleep apnea ditegakkan bila terdapat
> 5 kali episode apnea dalam satu jam saat tidur. Manajemen terapi dari OSA
antara lain meliputi pemberian Continous Positive
Airway Pressure (CPAP) disertai dengan modifikasi gaya hidup seperti
penurunan berat badan, kontrol tekanan darah dan menghindari penggunaan alkohol
serta zat sedatif.3
Restless
Legs Syndrome
Restless Legs Syndrome (RLS)
merupakan gangguan terkait tidur yang ditandai oleh hasrat untuk menggerakkan
kaki yang kadang disertai dengan sensasi tidak nyaman yang mana gejalanya akan
memberat dengan istirahat dan berkurang dengan aktivitas, terutama memberat
saat malam hari.11Usia lanjut merupakan faktor risiko dari RLS,
dengan perkiraan prevalensi yang mencapai 4% pada individu dengan umur 70 s/d
89 tahun, dengan pasien usia lanjut yang mengeluhkan gejala lebih sering hingga
9% s/d 20% dari semua kasus yang dilaporkan. Faktor risiko dari RLS yang
cenderung terjadi pada usia lanjut meliputi konsentrasi besi yang rendah,
status sosio-ekonomi yang rendah, adanya komorbitas terkait medis dan
psikiatris, penyakit parkinson dan gagal ginjal. Lini terapi pertama pada kasus
RLS ialah agonis dopamin. Lini terapi lainnya antara lain benzodiazepin,
antikonvulsan, opioid dan agen dopaminergik, walaupun beberapa lini terapi
tersebut dapat menimbulkan efek samping yang signifikan pada kelompok pasien
usia lanjut. Terapi non farmakologis meliputi sleep hygiene, aktivitas fisik, menghindari konsumsi minuman
berkafeindapat membantu meringankan gejala RLS.12
Gaya Hidup yang
Mempengaruhi Kualitas Tidur
Alkohol
Konsumsi alkohol sebelum tidur
dapat menyebabkan gangguan pada fase tidur dan pada pemeriksaan Polisomnography (PSG).13
Konsumsi alkohol sebelum tidur akan menurunkan periode laten tidur, tetapi
dapat meningkatkan hasrat tidur pada bagian setengah akhir dari malam dan hal
tersebut bergantung dengan dosis pemberian alkohol. Konsumsi alkohol sebelum tidur
pada kelompok pasien usia lanjut dapat menyebabkan efek yang buruk terhadap
kualitas tidur. Penggunaan alkohol secara berlebihan dalam jangka panjang pada
populasi usia lanjut akan meningkatkan risiko hipoksemia selama tidur.14
Aktivitas Fisik
Aktivitas
fisik teratur yang dilakukan di siang hari direkomendasikan sebagai bagian dari
sleep hygiene dan dapat menjadi
metode yang baik untuk memperbaiki kualitas tidur pada indvidu tanpa memandang
ada tidaknya gangguan tidur. Pada populasi dewasa tua, aktivitas fisik yang
dilakukan secara teratur dalam beberapa minggu terbukti menunjukkan perbaikan
kualitas tidur yang cukup signifikan. Pria usia lanjut yang secara aktif
berolahraga menunjukkan periode latensi tidur yang pendek, waktu terbangun yang
lebih pendek setelah onset tidur tercapai, efisiensi tidur yang lebih baik dibandingkan
dengan kelompok pasien usia lanjut yang secara fisik tidak aktif.15
Konsumsi Kafein
Konsumsi
kafein dalam jumlah kecil pada populasi usia lanjut sangat bermakna dimana
konsentrasi plasma dan jaringan yang tinggi dibandingkan dengan pada populasi
dewasa muda sebagai akibat tingginya jaringan adiposa serta penurunan fungsi
klirens kafein dari liver yang lebih lambat. Seiring dengan bertambahnya usia,
fisiologis tidur akan lebih sensitif terhadap kafein, antara lain meliputi
peningkatan latensi tidur, durasi waktu tidur yang lebih pendek, serta
efisiensi tidur yang menurun. Konsumsi minuman berkafein berhubungan dengan
gangguan pernapasan saat tidur. Pada kelompok pasien dengan demensia, konsumsi
minuman berkafein saat siang dan sore hari berhubungan dengan peningkatan risiko
terbangun saat malam hari.17,18
Konsumsi Nikotin
Nikotin diketahui memiliki efek
sebagai zat stimulan. Merokok diketahui berhubungan dengan gangguan tidur yang
meliputi peningkatan periode latensi tidur, penurunan durasi dari tidur, serta
penurunan kualitas tidur. Pada kelompok pasien usia lanjut, merokok berhubungan
dengan durasi tidur siang yang lebih panjang19,20.
Gangguan
TidurTerkait Mood dan Ansietas
Mood
Gangguan
mood cukup sering ditemukan pada populasi usia lanjut, dengan estimasi 11% dari
populasi tersebut mengalami gangguan mood apakah itu berupa depresi minor atau
mayor. Adanya hubungan dua arah antara gangguan mood dan tidur telah diteliti
pada populasi lanjut usia, dimana kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan
terjadinya depresi, serta kualitas tidur yang buruk dapat menjadi penanda adanya
depresi. Pada pasien usia lanjut, asosiasi tersebut dapat menjadi hal yang
membingungkan dengan adanya penyakit komorbiditas medis yang mana kualitas
tidur yang buruk dapat menjadi penanda dari adanya penyakit tersebut, sehingga
dapat menyebabkan underdiagnosis/overdiagnosis
dari depresi. Gangguan tidur yang terjadi pada pasien usia lanjut yang
disertai dengan depresi umumnya meliputi gangguan kontinuitas tidur
(peningkatan periode laten dari tidur, peningkatan atau pemanjangan masa
terjaga, serta bangun tidur yang terlalu awal), peningkatan fase tidur REM,
fase tidur REM yang muncul lebih dini, serta berkurangnya tahap 3 dan 4 dari
fase tidur (tidur dalam).21
Ansietas
Kendati
telah banyak penelitian yang dilakukan guna mengetahui hubungan antara gangguan
mood dan gangguan tidur, hanya terdapat sedikit penelitian yang meneliti
hubungan antara ansietas dan gangguan tidur pada pasien usia lanjut. Terdapat
banyak aspek yang saling tumpang tindih antara ansietas dan depresi pada usia lanjut,
yang mana hal tersebut cukup menyulitkan dalam membedakan antara kedua hal
tersebut secara jelas sehingga menyebabkan penelitian terkait kedua hal
tersebut cukup sulit dilakukan. Setengah bahkan lebih dari populasi pasien usia
lanjut mungkin mengalami ansietas yang signifikan. Gangguan tidur dan ansietas
menjadi faktor komorbiditas yang signifikan walaupun (seperti halnya dengan
gangguan mood) biologis dari hubungan kedua hal tersebut bersifat sangat
kompleks. Beberapa faktor dari ansietas yang berhubungan dengan gangguan tidur
antara lain meliputi durasi tidur yang memendek, gangguan tidur lainnya (batuk,
mengorok, menggigil, serta mimpi buruk) dan mengantuk yang berlebihan saat
siang hari.22
Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Kelompok pasien usia lanjutdapat
mengalami episode PTSD sebagai konsekuensi dari riwayat trauma masa lalu,
seperti pertikaian, penyiksaan, trauma fisik, dan kekerasan seksual. PTSD juga
dapat terjadi sebagai akibat trauma yang baru terjadi seperti kekerasan fisik,
bencana alam, atau kecelakaan. PTSD yang berhubungan dengan trauma masa lalu
dapat terjadi secara kronik. Perkiraan prevalensi PTSD pada populasi usia
lanjutsangat bervariasi bergantung dengan jenis penelitian populasi yang
dilakukan. Gangguan tidur, termasuk mimpi buruk merupakan gejala PTSD yang sering
ditemukan pada usia lanjut.23
Tidur dan
Gangguan Neuro Kognitif
Pada pasien usia lanjut, kualitas tidur yang buruk
dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif, sebaliknya, demensia dapat muncul
disertai dengan gangguan tidur. Penelitian menunjukkan bahwa durasi dari tidur,
fragmentasi dari tidur, gangguan tidur terkait pernafasan dan hipoksemia dapat
mengakibatkan gangguan kognitif.24,25 Penurunan kognitif ringan
berkaitan dengan kesulitan untuk memulai tidur, kesulitan untuk mempertahankan
tidur, serta bangun tidur yang terlalu awal. Diantara bentuk demensia, terdapat
dua bentuk demensia yang berkaitan dengan gangguan tidur, yaitu Alzheimer Disease (AD) dan Lewy Body Dementia (LBD).
Alzheimer
Disease (AD)
Penelitian
sebelumnya menjelaskan bahwa gangguan siklus tidur-bangun dan irama sikardian
terjadi pada tahap akhir dari AD, namun juga dapat terjadi pada onset yang
lebihawal sebelum adanya gejalagangguan kognitif. Perubahan tidur awal yang
terjadi pada AD meliputi penurunan fase 3-4 dari tidur NREM dan kehilangan fase
tidur REM seiring dengan beratnya progresivitas penyakit.26 Gejala
lain dari gangguan tidur yang berkaitan dengan AD antara lain waktu dan durasi
dari siklus tidur, peningkatan periode laten dari tidur, peningkatan frekuensi
waktu terjaga saat malam hari, serta peningkatan waktu tidur saat siang hari.
Telah diduga bahwa adanya proses biologis dari neuron yang disebabkan oleh
degenerasi dari neuron kolinergik pada nukleus basalis dari Meynert dan kerusakan
dari nukleus suprakiasmatik dapat menyebabkan gangguan terkait siklus
istirahat-aktivitas.27
Lewy
Body Dementia
Gangguan tidur pada LBD ditandai
dengan berkurangnya atonia otot pada saat fase tidur REM, serta adanya Dream Enactment Behavior (keadaan dimana
pasien akan betingkah sesuai dengan apa yang ada didalam mimpinya dan dapat
berisiko mencederai pasangan tidur pasien). Onset dari gangguan tidur fase REM
yang disebabkan oleh LBD dapat terjadi bersamaan dengan gejala gangguan
kognitif atau parkinson, walaupun penelitian menemukan data bahwa gangguan
tidur pada fase REM dapat menjadi pertanda dari LBD yang dapat muncul hingga 20
tahun kemudian. Gejala lain dari LBD yang berkaitan dengan gangguan tidur
antara lain insomnia dan mengantuk yang berat yang terjadi saat siang hari.28,29
Gangguan Tidur
dan Penyakit Medis
Delirium
Pada
pasien yang sedang dalam fase kritis dari suatu penyakit, dapat terjadi
kekacauan pada irama sikardian. Delirium secara garis besar ditandai oleh
abnormalitas pada irama tidur-bangun, dimana adanya gangguan pada siklus tersebut
juga dapat berimplikasi pada terjadinya delirium. Pada keadaan di rumah sakit,
banyak faktor yang dapat menyebabkan gangguan pada irama bangun-tidur tersebut,
termasuk dengan cahaya lampu yang berkelap-kelip secara terus-menerus pada
ruang perawatan intensif, kurangnya paparan sinar matahari, kebisingan,
pemberian obat-obatan, pemeriksaan tekanan darah secara berkala yang otomatis,
ventilasi mekanik, serta berbagai intervensi lainnya.30,31
Penyakit Parkinson
Gangguan
tidur cukup sering ditemukan dan menjadi salah satu hal yang menjadi faktor
komorbiditas pada penyakit parkinson, terjadi pada 90% pasien parkinson dan
bahkan onset gangguan tidur tersebut telah muncul sebelum onset gangguan motorik
terjadi. Berbagai gangguan tidur yang sering terjadi pada penyakit parkinson
antara lain insomnia, mengantuk yang berlebihan pada siang hari dengan Sleep Attacks, RLS, dan REM Behavioral Disorder (RBD).32
Peran dari dopamin dalam mengatur irama sikardian dan fisiologis dari tidur
telah terganggu oleh adanya penyakit parkinson, yang akan mengakibatkan
penyakit parkinson tersebut. Beberapa mekanisme lain yang berkaitan dengan
gangguan tidur pada penyakit parkinson telah diajukan, meliputi gangguan pada sleep architecture, gangguan pada sistem
pengaturan hasrat, gangguan pada siklus irama bangun-tidur, gejala motorik dan
non motorik nokturnal, gejala neuropsikiatrik, gejala sensorik, comorbid primary sleep disorder , serta
efek samping dari berbagai pengobatan. Penelitian membuktikan parkinson yang
muncul pada onset umur yang lebih muda berhubungan dengan insomnia, mengantuk
berat pada siang hari, mimpi buruk, serta general
sleep restlessness dibandingkan dengan kelompok pasien penyakit parkinson
yang lebih tua.33
Nokturia
Nokturia merupakan proses miksi
yang terjadi sebanyak 2 kali atau lebih saat tidur malam. Diperkirakan 60% dari
populasi pria dan wanita diatas umur 70 tahun mengalami episode nokturia.
Nokturia, atau secara spesifik jumlah dari miksi yang terjadi tiap malam
berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk. Asosiasi dari nokturia dengan
dimensi kesehatan lainnya antara lain peningkatan lelah
saat siang hari, depresi, serta penurunan kualitas kesehatan secara menyeluruh berkaitan
dengan kualitas hidup. Benign Prostate
Hypertrophy (BPH) merupakan penyebab terbanyak dari nokturia pada pria.
Beberapa penyebab lainnya natar lain Overactive
Bladder, infeksi saluran kemih (ISK), hipersensitivitas pada buli, batu
saluran kemih, kanker, aktivitas berlebih dari sistem neurogenik otot detrusor,
diabetes, polidpsi, insufisiensi renal, penggunaan diuretik, dan berbagai
penyebab lainnya.34 Penggunaan obat-obatan untuk menekan nokturia
pada populasi lanjut usia cukup terbatas, desmopressin dapat berkaitan pada hipernatremia,
sedangkan penggunaan antimuskarinik seperti oxybutynin dan tolterodine dapat
menimbulkan efek samping antikolinergik.35
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Risiko
terjadinya PPOK akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Pasien dengan
PPOK berisiko untuk mengalami hiperkapnea dan hipoksemia saat tertidur.36
Diperkirakan bahwa lebih dari setengah populasi pasien dengan PPOK derajat sedang-berat
memenuhi kriteria diagnosis dari OSA, yang mana hal ini akan meningkatkan
mortalitas dan morbiditas pasien. Penggunaan obat-obatan hipnotik pada pasien
dengan PPOK dapat sangat berbahaya dimana hal tersebut dapat menyebabkan
terjadinya hipoventilasi, penurunan respon kewaspadaan, hiperkapnea dan
hipoksia, serta meningkatnya risiko apnea.37 Pemberian agonis reseptor
melatonin, ventilasi mekanis, serta terapi kognitif dan tingkah laku dapat
menjadi alternatif terapi yang aman digunakan pada pasien PPOK dengan episode
gangguan tidur.
Nyeri Kronik
Nyeri
kronik merupakan hal yang sering dialami oleh populasi pasien usia lanjutdan
berubungan dengan artritis, neuropati perifer, penyakit spinal degeneratif,
serta penyakit lain terkait tulang dan sendi. Gangguan tidur sering dijumpai
pada kelompok pasien dengan nyeri kronik. Pasien dengan intensitas nyeri yang
tinggi sering melaporkan peningkatan periode laten dari tidur, penurunan durasi
tidur serta peningkatan frekuensi terbangun dari tidur bila dibandingkan dengan
kelompok pasien dengan intensitas nyeri yang rendah.38 Terapi nyeri
kronik pada pasien usia lanjutcukup sulit, dikarenakan efek samping yang sering
muncul dari pemberian obat, kendati demikian, manajemen nyeri yang efektif
dapat memperbaiki kualitas tidur pada pasien usia lanjut.
Obat-Obatan yang
Dapat Mempengaruhi Tidur
Efek
samping dari penghambat asetilkolinesterase yang digunakan sebagai lini terapi
pada pasien dengan AD ialah mimpi yang terlihat nyata dan mimpi buruk, hal ini
berkaitan dengan pemendekan fase laten tidur REM, peningkatan densitas fase
REM, serta peningkatan durasi tidur fase REM.39 Penggunaan
obat-obatan penghambat beta adrenergik berhubungan dengan supresi sekresi dari
melatonin yang mana hal tersebut berdampak pada insomnia. Pseudoefedrin, suatu
amin simpatomimetik yang digunakan untuk dekongestan nasal pada kasus rinitis
alergi atau commmon cold, lebih
sering berhubungan dengan kejadian insomnia dibandingkan dengan agen
dekongestan lainnya. Kortikosteroid, medikamentosa yang sering diresepkan pada
pasien dengan reaksi alergi, immunologi dan gangguan respirasi juga dapat
menyebabkan terjadinya delirium dan insomnia.40. Penggunaan diuretik
walaupun tidak menyebabkan gangguan pada sleep
architecture, namun dapat menyebabkan insomnia sebagai akibat proses miksi
berulang saat malam hari.
Pendekatan
Terapi Non Farmakologis
Seriring dengan peningkatan risiko
dan polifarmasi dari pemberian obat-obatan pada populasi lanjut usia,
pendekatan terapi non farmakologis kini menjadi lini pertama dari gangguan
tidur.
Cognitive
Behavioral Theraphy (CBT)
Penggunaan CBT untuk insomnia telah
dipelajari pada populasi dewasa tuaberdasarkan hipotesis dari insomnia yang
terjadi sebagai akibat keyakinan yang bersifat disfungsional dan akibatnya
terhadap aktivitas/kehidupan sehari-hari. Tujuan dari CBT ini ialah mengidentifikasi,
menganalisis dan mengubah keyakinan tersebut.41
Sleep
Hygiene
Sleep Hygiene merupakan tekhnik edukasi
dimana pasien diajarkan tentang efek dari pengaruh lingkungan dan tingkah laku
terhadap tidur, demikian pula dengan ekspektasi yang beralasan terkait dengan
pengaruh umur individu dan faktor komorbiditas terhadap tidur. Berbagai aspek
dalam terapi ini antara lain menghindari konsumsi kafein dan nikotin 6 jam
sebelum tidur, menghindari konsumsi alkohol dan makan-makanan berat saat mau
tidur, menghindari aktivitas fisik berat saat mau tidur, meminimalisir paparan cahaya,
temperatur panas dan kebisingan saat tidur.42
Kontrol Stimulus
Tujuan
dari kontrol stimulus ialah pengaturan ulang dari hubungan antara tempat tidur
dan proses tidur itu sendiri. Pendekatan dari kontrol stimulus antara lain
menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan berhubungan seks, pergi ke tempat
tidur hanya bila kelelahan, keluar dari tempat tidur bila tidak dapat tertidur
dalam 20 menit, serta bangun secara rutin pada waktu yang sama tiap harinya.43
Restriksi Tidur
Pendekatan
ini sebagai terapi insomnia meliputi pembatasan waktu tidur saat malam hari dan
siang hari, dengan mengobservasi banyaknya waktu yang dihabiskan pasien di
tempat tidur, pasien kemudian diatur mengenai jadwal/pola tidur dan berusaha
untuk mempertahankan waktu tidur tersebut.44
Pendekatan
Terapi Farmakologis
Melatonin
Pada pasien lanjut usia melatonin
dapat menyebabkan penurunan periode latensi dari tidur, penurunan keadaan
terjaga saat tidur, dan pergerakan ketika tidur. Terdapat bukti bahwa pemberian
melatonin pada pasien yang terdiagnosis demensia dapat mengurangi gejala sundowning. Rekomendasi terkini dari
penggunaan melatonin untuk gangguan tidur pada usia lanjut ialah penggunaan
dosis terendah mungkin dalam bentuk formulasi Immediate Release sehingga dapat menyerupai sekresi fisiologis
normal.45
Trazadone
Trazadone
merupakan agen anti insomnia yang sering digunakan baik pada pasien dengan atau
tanpa depresi. Berbagai efek samping yang dapat terjadi pada populasi usia
lanjut antara lain sedasi, dizziness, hipotensi
ortostatik, aritmia, priapismus, dan ganggguan psikomotor. Trazadone relatif
dapat ditolerir dibandingkan agen sedasi lainnya dan dapat menurunkan risiko
dari efek antikolinergik pada jantung.46
Benzodiazepin
Kelompok
usia lanjut memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap efek samping
dari benzodiazepin, yang meliputi efek toleransi, penolakan, sedasi berlebihan, gangguan kognitif, dan risiko terjatuh. Rekomendasi
penggunaan benzodiazepin pada usia lanjut meliputi penggunaan jangka pendek,
dosis rendah, serta dianjurkan untuk menggunakan preparat obat dengan waktu
paruh yang singkat.47
Hipnotik Nonbenzodiazepin
Hipnotik
non benzodiazepin seperti zolpidem, zaleplon, zopiclon, eszopiclon, merupakan
obat yang sering digunakan pada kasus insomnia pada semua kelompok umur. Data
penelitian yang tersedia menunjukkan penggunaan terapi ini dapat memperbaiki
periode latensi dari tidur, kualitas tidur dan secara umum dapat ditolelir
dengan baik pada kelompok usia lanjut.48
Antidepresan Sedatif
Antidepresan sedatif kadang
digunakan sebagai terapi pada pasien dengan insomnia, terutama bila insomnia
terjadi bersamaan dengan depresi. Antidepresan trisiklik kadang digunakan pada
kasus tersebut, kendati demikian, pada populasi pasien usia lanjut, terapi ini
memiliki efek samping yang cukup besar, meliputi mulut terasa kering, hipotensi
postural, aritmia, peningkatan berat badan dan sempoyongan. Mirtazapin
menunjukkan efek perbaikan dari efikasi tidur dan total durasi tidur pada pasien
dengan depresi. Kendati demikian, data yang mendukung penggunaan mirtazapin
pada gangguan tidur yang terjadi pada pasien nondepresi sangat sedikit.48
RINGKASAN
Gangguan
tidur pada usia lanjut memiliki tantangan tersendiri dalam mendiagnosis dan memberikan
terapi. Penanganan gangguan tidur bersifat kompleks oleh karena resiko dari
efek samping obat pada pendekatan farmakologis, sehingga pendekatan non
farmakologis lebih diutamakan bila memungkinkan.