Advertising

Minggu, 01 Oktober 2017

GANGGUAN TIDUR PADA USIA LANJUT


PENDAHULUAN
Tidur merupakan suatu proses yang bersifat pasif dan dianggap sebagai keadaan dorman dari kehidupan kita. Aktivitas otak menjadi sangat aktif ketika manusia sedang tidur. Siklus tidur dan bangun diatur oleh jam tubuh (body clock). Body clock terletak didalam otak yaitu nucleus suprachiasmatic dan mempunyai periode selama 24 jam. Selama satu periode 24 jam, manusia mempunyai waktu tidur normal selama 6-10 jam. Pola tidur manusia dipengaruhi oleh umur hal ini ditunjukkan dengan adanya gambaran khas pada kelompok usia bayi, dewasa, dan orang tua.1
Gangguan tidur merupakan gejala utama yang cukup sering dikeluhkan oleh pasien lanjut usia saat berobat ke pengobatan fasilitas primer atau ke psikiatri. Diperkirakan bahwa lebih dari 50% populasi lanjut usia paling tidak memiliki minimal satu keluhan terkait tidur.2 Pada lanjut usia, gangguan tidur dapat meningkatkan risiko jatuh, penurunan kualitas hidup, kebutuhan akan perawatan dirumah, serta motalitas.3 Seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan pada irama tidur yang mana dapat mempersulit identifikasi dari gangguan tidur.
Gangguan tidur pada lanjut usia dipengaruhi oleh faktor medis, psikiatris, gaya hidup, kognitif, serta faktor lingkungan. Pasien lanjut usia juga memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menginisiasi dan memperbaiki fungsi tidur.3Pada referat ini akan membahas tentang gangguan tidur pada usia lanjut.

PENGERTIAN TIDUR
            Definisi dari tidur merupakan suatu kondisi tidak sadar di mana individu dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensori yang sesuai, atau juga dapat dikatakan suatu keadaan tidak sadarkan diri yang relatif, bukan hanya keadaan penuh ketenangan tanpa kegiatan, akan tetapi lebih merupakan suatu urutan siklus yang berulang, dengan ciri adanya aktivitas yang minim, memiliki kesadaran bervariasi, terdapat perubahan proses fisiologis, dan terjadi respons terhadap rangsangan dari luar.

FISIOLOGI TIDUR
Tidur merupakan aktivitas susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang bekerja. Sistem yang bekerja mengatur siklus ini adalah Reticular Activating Aystem (RAS) dan Bulbar Synchronizing Regional (BSR) yang terletak pada batang otak.Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu:4
1.      Pergerakan mata cepat atau Rapid Eye Movement (REM)
2.      Pergerakan mata tidak cepat atau Non Rapid Eye Movement (NREM)
Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium lalu diikuti oleh fase REM. Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam satu malam. Empat fase NREM yakni:4
1.      Tidur stadium satu
Tahap ini merupakan tahap transisi, berlangsung selama 5 menit yang mana seseorang beralih dari sadar menjadi tidur. Seseorang merasa kabur dan relaks, mata bergerak ke kanan dan kiri, kecepatan jantung dan pernafasan turun secara jelas. Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat terbangun dengan mudah oleh suara atau gangguan lain. Selama tahap ini, mata akan bergerak perlahan dan aktivitas otot melambat.4
2.      Tidur stadium dua
Tahap ini merupakan tahap tidur ringan, dan proses metabolisme tubuh menurun.Denyut jantung melambat dan suhu tubuh menurun. Pada tahap ini gerakan bola mata berhenti. Biasanya tahap ini berlangsung selama 10 hingga 15 menit.4
3.      Tidur stadium tiga
Pada tahap ini tidur lebih dalam dari tahap sebelumnya. Kecepatan denyut jantung, pernafasan serta metabolisme tubuh berlanjut mengalami penurunan akibat dominasi saraf parasimpatik. Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun maka individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit.4
4.      Tidur stadium empat
Ini merupakan tahap tidur paling dalam. Gelombang otak sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot untuk memulihkan energi fisik.4
Fase NREM ini biasanya berlangsung selama 70 hingga 100 menit setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun. Tidur tipe ini disebut juga “Paradoksikal” karena hal ini bersifat paradoks yaitu seseorang tetap tertidur walaupun aktivitas otaknya nyata.4
Efek fisiologis yang terjadi pada saat tidur meliputi reduksi dari tekanan darah, pulsasi nadi saat fase NREM dan REM, aritmia jantung episodik saat fase REM, pernafasan yang ireguler saat fase REM, penurunan fungsi termoregulasi saat fase NREM dan kembali saat fase REM. Perubahan optik refraksi pada mata (peningkatan opasitas lensa, miosis senilis) akan menyebabkan penurunan penghantaran cahaya ke retina, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi irama sikardian.4
            Perubahan irama sikardian menyebabkan seseorang pergi tidur dan terbangun lebih awal. Melatonin yang berfungsi dalam regulasi dan efisiensi tidur akan menurun sekresinya seiring dengan bertambahnya umur, menyebabkan gangguan pada irama sikardian.5,6

GANGGUAN TIDUR PADA USIA LANJUT
Insomnia
Berdasarkan kriteria diagnosis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, insomnia didefinisikan sebagai ketidakpuasan terhadap kualitas atau kuantitas tidur yang berhubungan dengan kesulitan dalam mengawali dan mempertahankan tidur serta bangun terlalu pagi yang mana hal tersebut menyebabkan gangguan yang signifikan dengan frekuensi kejadian minimal 3 malam per minggu dalam 3 bulan berturut-turut yang mana terjadi pada keadaan ideal untuk tidur dan tidak terkait dengan sebab dari penyakit lain atau penggunaan zat tertentu. Insomnia diklasifikasikan menjadi 3 bentuk:7
·         Short Term Insomnia
Sebelumnya dikenal sebagai insomnia akut, insomnia terkait stress atau insomnia transien, yang umumnya terjadi dalam jangka waktu kurang dari 3 bulan. Gejalanya bersifat sementara terhadap stressor yang muncul. Insomnia ini diharapkan akan menghilang setelah stressor dapat ditangani atau setelah muncul respon adaptif terhadap stressor tersebut.
·         Chronic Insomnia
Insomnia ini ditandai dengan gangguan tidur yang terjadi minimal 3 malam dalam seminggu selama 3 bulan atau lebih dan tidak berhubungan dengan penyebab inadekuasi tidur lainnya (masalah tidur lainnya).
·         Other Insomnia
Merupakan kondisi dimana tidak memenuhi kriteria dari insomnia akut dan kronik.
Prevalensi dari gangguan tidur akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Umur dan jenis kelamin merupakan faktor risiko tersendiri dari gangguan tidur, dimana umur yang tua dan jenis kelamin wanita merupakan kelompok dengan prevalensi terbanyak. Prevalensi insomnia pada wanita akan meningkat baik pada saat menstruasi atau pada saat menopause.7
Obstructive Sleep Apnea
Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan tidur yang didapati pada 3%-7% dari populasi dewasa pria dan 2%-5% pada populasi dewasa wanita yang ditandai oleh kolapsnya jalan nafas secara berulang baik bersifat total atau parsial dan dapat menyebabkan hipoksemia, fragmentasi dari tidur serta penurunan kualitas tidur.8 OSA sering terjadi pada kelompok usia lanjut, dengan insidensi kejadian mencapai 24% hingga 42% dari populasi usia lanjut mengalami 5 episode atau lebih apnea dalam satu jam periode tidur.9 Faktor risiko klasik dari OSA (obesitas/lingkar leher yang pendek) jarang ditemukan pada kelompok usia lanjut, menyebabkan identifikasi faktor risiko OSA pada usia lanjut cukup sulit dilakukan.
OSA sering dikaitkan dengan efek kardiovaskular. OSA berhubungan dengan hipertensi dan hal tersebut bersifat independen terhadap obesitas, dimana gejala OSA dapat membaik pasca terapi hipertensi. OSA juga berhubungan dengan penyakit arteri koroner baik yang bersifat klinis maupun subklinis, termasuk dengan insidensi penyakit dan mortalitas yang tinggi terkait penyakit kardiovaskular.10 Mekanisme dari hubungan antara OSA dan penyakit kardiovaskular tampaknya dipengaruhi oleh hipoksia intermiten, inflamasi, aktivasi tonus simpatik, serta fragmentasi pada tidur, yang mana hal tersebut akan berdampak pada disfungsi endotel, hiperkoagulabilitas, vasokontriksi, dan aterosklerosis.10 Asosiasi serupa juga ditemukan antara OSA dan sindrom metabolik, dimana hal tersebut juga dapat meningkatkan kejadian mortalitas terkait gangguan kardiovaskular.10
Gejala neuropsikiatrik seperti gangguan kognitif dan afektif, dapat disebabkan oleh OSA, sehingga deteksi permasalahan terkait gangguan tidur merupakan hal penting untuk dilakukan, terutama pada populasi lansia. Apnea-Hypopnea Index (AHI) digunakan dalam mendiagnosis apneu saat tidur. Sistem perhitungan ini digunakan untuk menilai jumlah episode apneu pasien (hilangnya siklus pernafasan dalam 10 detik atau lebih) yang berhubungan dengan desaturasi oksigen. Diganosis sleep apnea ditegakkan bila terdapat > 5 kali episode apnea dalam satu jam saat tidur. Manajemen terapi dari OSA antara lain meliputi pemberian Continous Positive Airway Pressure (CPAP) disertai dengan modifikasi gaya hidup seperti penurunan berat badan, kontrol tekanan darah dan menghindari penggunaan alkohol serta zat sedatif.3
Restless Legs Syndrome
            Restless Legs Syndrome (RLS) merupakan gangguan terkait tidur yang ditandai oleh hasrat untuk menggerakkan kaki yang kadang disertai dengan sensasi tidak nyaman yang mana gejalanya akan memberat dengan istirahat dan berkurang dengan aktivitas, terutama memberat saat malam hari.11Usia lanjut merupakan faktor risiko dari RLS, dengan perkiraan prevalensi yang mencapai 4% pada individu dengan umur 70 s/d 89 tahun, dengan pasien usia lanjut yang mengeluhkan gejala lebih sering hingga 9% s/d 20% dari semua kasus yang dilaporkan. Faktor risiko dari RLS yang cenderung terjadi pada usia lanjut meliputi konsentrasi besi yang rendah, status sosio-ekonomi yang rendah, adanya komorbitas terkait medis dan psikiatris, penyakit parkinson dan gagal ginjal. Lini terapi pertama pada kasus RLS ialah agonis dopamin. Lini terapi lainnya antara lain benzodiazepin, antikonvulsan, opioid dan agen dopaminergik, walaupun beberapa lini terapi tersebut dapat menimbulkan efek samping yang signifikan pada kelompok pasien usia lanjut. Terapi non farmakologis meliputi sleep hygiene, aktivitas fisik, menghindari konsumsi minuman berkafeindapat membantu meringankan gejala RLS.12
Gaya Hidup yang Mempengaruhi Kualitas Tidur
Alkohol
Konsumsi alkohol sebelum tidur dapat menyebabkan gangguan pada fase tidur dan pada pemeriksaan Polisomnography (PSG).13 Konsumsi alkohol sebelum tidur akan menurunkan periode laten tidur, tetapi dapat meningkatkan hasrat tidur pada bagian setengah akhir dari malam dan hal tersebut bergantung dengan dosis pemberian alkohol. Konsumsi alkohol sebelum tidur pada kelompok pasien usia lanjut dapat menyebabkan efek yang buruk terhadap kualitas tidur. Penggunaan alkohol secara berlebihan dalam jangka panjang pada populasi usia lanjut akan meningkatkan risiko hipoksemia selama tidur.14
Aktivitas Fisik
            Aktivitas fisik teratur yang dilakukan di siang hari direkomendasikan sebagai bagian dari sleep hygiene dan dapat menjadi metode yang baik untuk memperbaiki kualitas tidur pada indvidu tanpa memandang ada tidaknya gangguan tidur. Pada populasi dewasa tua, aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dalam beberapa minggu terbukti menunjukkan perbaikan kualitas tidur yang cukup signifikan. Pria usia lanjut yang secara aktif berolahraga menunjukkan periode latensi tidur yang pendek, waktu terbangun yang lebih pendek setelah onset tidur tercapai, efisiensi tidur yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok pasien usia lanjut yang secara fisik tidak aktif.15
Konsumsi Kafein
            Konsumsi kafein dalam jumlah kecil pada populasi usia lanjut sangat bermakna dimana konsentrasi plasma dan jaringan yang tinggi dibandingkan dengan pada populasi dewasa muda sebagai akibat tingginya jaringan adiposa serta penurunan fungsi klirens kafein dari liver yang lebih lambat. Seiring dengan bertambahnya usia, fisiologis tidur akan lebih sensitif terhadap kafein, antara lain meliputi peningkatan latensi tidur, durasi waktu tidur yang lebih pendek, serta efisiensi tidur yang menurun. Konsumsi minuman berkafein berhubungan dengan gangguan pernapasan saat tidur. Pada kelompok pasien dengan demensia, konsumsi minuman berkafein saat siang dan sore hari berhubungan dengan peningkatan risiko terbangun saat malam hari.17,18

Konsumsi Nikotin
Nikotin diketahui memiliki efek sebagai zat stimulan. Merokok diketahui berhubungan dengan gangguan tidur yang meliputi peningkatan periode latensi tidur, penurunan durasi dari tidur, serta penurunan kualitas tidur. Pada kelompok pasien usia lanjut, merokok berhubungan dengan durasi tidur siang yang lebih panjang19,20.
Gangguan TidurTerkait Mood dan Ansietas
Mood
            Gangguan mood cukup sering ditemukan pada populasi usia lanjut, dengan estimasi 11% dari populasi tersebut mengalami gangguan mood apakah itu berupa depresi minor atau mayor. Adanya hubungan dua arah antara gangguan mood dan tidur telah diteliti pada populasi lanjut usia, dimana kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan terjadinya depresi, serta kualitas tidur yang buruk dapat menjadi penanda adanya depresi. Pada pasien usia lanjut, asosiasi tersebut dapat menjadi hal yang membingungkan dengan adanya penyakit komorbiditas medis yang mana kualitas tidur yang buruk dapat menjadi penanda dari adanya penyakit tersebut, sehingga dapat menyebabkan underdiagnosis/overdiagnosis dari depresi. Gangguan tidur yang terjadi pada pasien usia lanjut yang disertai dengan depresi umumnya meliputi gangguan kontinuitas tidur (peningkatan periode laten dari tidur, peningkatan atau pemanjangan masa terjaga, serta bangun tidur yang terlalu awal), peningkatan fase tidur REM, fase tidur REM yang muncul lebih dini, serta berkurangnya tahap 3 dan 4 dari fase tidur (tidur dalam).21


Ansietas
            Kendati telah banyak penelitian yang dilakukan guna mengetahui hubungan antara gangguan mood dan gangguan tidur, hanya terdapat sedikit penelitian yang meneliti hubungan antara ansietas dan gangguan tidur pada pasien usia lanjut. Terdapat banyak aspek yang saling tumpang tindih antara ansietas dan depresi pada usia lanjut, yang mana hal tersebut cukup menyulitkan dalam membedakan antara kedua hal tersebut secara jelas sehingga menyebabkan penelitian terkait kedua hal tersebut cukup sulit dilakukan. Setengah bahkan lebih dari populasi pasien usia lanjut mungkin mengalami ansietas yang signifikan. Gangguan tidur dan ansietas menjadi faktor komorbiditas yang signifikan walaupun (seperti halnya dengan gangguan mood) biologis dari hubungan kedua hal tersebut bersifat sangat kompleks. Beberapa faktor dari ansietas yang berhubungan dengan gangguan tidur antara lain meliputi durasi tidur yang memendek, gangguan tidur lainnya (batuk, mengorok, menggigil, serta mimpi buruk) dan mengantuk yang berlebihan saat siang hari.22
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Kelompok pasien usia lanjutdapat mengalami episode PTSD sebagai konsekuensi dari riwayat trauma masa lalu, seperti pertikaian, penyiksaan, trauma fisik, dan kekerasan seksual. PTSD juga dapat terjadi sebagai akibat trauma yang baru terjadi seperti kekerasan fisik, bencana alam, atau kecelakaan. PTSD yang berhubungan dengan trauma masa lalu dapat terjadi secara kronik. Perkiraan prevalensi PTSD pada populasi usia lanjutsangat bervariasi bergantung dengan jenis penelitian populasi yang dilakukan. Gangguan tidur, termasuk mimpi buruk merupakan gejala PTSD yang sering ditemukan pada usia lanjut.23

Tidur dan Gangguan Neuro Kognitif
Pada pasien usia lanjut, kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif, sebaliknya, demensia dapat muncul disertai dengan gangguan tidur. Penelitian menunjukkan bahwa durasi dari tidur, fragmentasi dari tidur, gangguan tidur terkait pernafasan dan hipoksemia dapat mengakibatkan gangguan kognitif.24,25 Penurunan kognitif ringan berkaitan dengan kesulitan untuk memulai tidur, kesulitan untuk mempertahankan tidur, serta bangun tidur yang terlalu awal. Diantara bentuk demensia, terdapat dua bentuk demensia yang berkaitan dengan gangguan tidur, yaitu Alzheimer Disease (AD) dan Lewy Body Dementia (LBD).
Alzheimer Disease (AD)
            Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa gangguan siklus tidur-bangun dan irama sikardian terjadi pada tahap akhir dari AD, namun juga dapat terjadi pada onset yang lebihawal sebelum adanya gejalagangguan kognitif. Perubahan tidur awal yang terjadi pada AD meliputi penurunan fase 3-4 dari tidur NREM dan kehilangan fase tidur REM seiring dengan beratnya progresivitas penyakit.26 Gejala lain dari gangguan tidur yang berkaitan dengan AD antara lain waktu dan durasi dari siklus tidur, peningkatan periode laten dari tidur, peningkatan frekuensi waktu terjaga saat malam hari, serta peningkatan waktu tidur saat siang hari. Telah diduga bahwa adanya proses biologis dari neuron yang disebabkan oleh degenerasi dari neuron kolinergik pada nukleus basalis dari Meynert dan kerusakan dari nukleus suprakiasmatik dapat menyebabkan gangguan terkait siklus istirahat-aktivitas.27


Lewy Body Dementia
Gangguan tidur pada LBD ditandai dengan berkurangnya atonia otot pada saat fase tidur REM, serta adanya Dream Enactment Behavior (keadaan dimana pasien akan betingkah sesuai dengan apa yang ada didalam mimpinya dan dapat berisiko mencederai pasangan tidur pasien). Onset dari gangguan tidur fase REM yang disebabkan oleh LBD dapat terjadi bersamaan dengan gejala gangguan kognitif atau parkinson, walaupun penelitian menemukan data bahwa gangguan tidur pada fase REM dapat menjadi pertanda dari LBD yang dapat muncul hingga 20 tahun kemudian. Gejala lain dari LBD yang berkaitan dengan gangguan tidur antara lain insomnia dan mengantuk yang berat yang terjadi saat siang hari.28,29
Gangguan Tidur dan Penyakit Medis
Delirium
            Pada pasien yang sedang dalam fase kritis dari suatu penyakit, dapat terjadi kekacauan pada irama sikardian. Delirium secara garis besar ditandai oleh abnormalitas pada irama tidur-bangun, dimana adanya gangguan pada siklus tersebut juga dapat berimplikasi pada terjadinya delirium. Pada keadaan di rumah sakit, banyak faktor yang dapat menyebabkan gangguan pada irama bangun-tidur tersebut, termasuk dengan cahaya lampu yang berkelap-kelip secara terus-menerus pada ruang perawatan intensif, kurangnya paparan sinar matahari, kebisingan, pemberian obat-obatan, pemeriksaan tekanan darah secara berkala yang otomatis, ventilasi mekanik, serta berbagai intervensi lainnya.30,31


Penyakit Parkinson
            Gangguan tidur cukup sering ditemukan dan menjadi salah satu hal yang menjadi faktor komorbiditas pada penyakit parkinson, terjadi pada 90% pasien parkinson dan bahkan onset gangguan tidur tersebut telah muncul sebelum onset gangguan motorik terjadi. Berbagai gangguan tidur yang sering terjadi pada penyakit parkinson antara lain insomnia, mengantuk yang berlebihan pada siang hari dengan Sleep Attacks, RLS, dan REM Behavioral Disorder (RBD).32 Peran dari dopamin dalam mengatur irama sikardian dan fisiologis dari tidur telah terganggu oleh adanya penyakit parkinson, yang akan mengakibatkan penyakit parkinson tersebut. Beberapa mekanisme lain yang berkaitan dengan gangguan tidur pada penyakit parkinson telah diajukan, meliputi gangguan pada sleep architecture, gangguan pada sistem pengaturan hasrat, gangguan pada siklus irama bangun-tidur, gejala motorik dan non motorik nokturnal, gejala neuropsikiatrik, gejala sensorik, comorbid primary sleep disorder , serta efek samping dari berbagai pengobatan. Penelitian membuktikan parkinson yang muncul pada onset umur yang lebih muda berhubungan dengan insomnia, mengantuk berat pada siang hari, mimpi buruk, serta general sleep restlessness dibandingkan dengan kelompok pasien penyakit parkinson yang lebih tua.33
Nokturia
Nokturia merupakan proses miksi yang terjadi sebanyak 2 kali atau lebih saat tidur malam. Diperkirakan 60% dari populasi pria dan wanita diatas umur 70 tahun mengalami episode nokturia. Nokturia, atau secara spesifik jumlah dari miksi yang terjadi tiap malam berhubungan dengan kualitas tidur yang buruk. Asosiasi dari nokturia dengan dimensi kesehatan lainnya antara lain peningkatan lelah saat siang hari, depresi, serta penurunan kualitas kesehatan secara menyeluruh berkaitan dengan kualitas hidup. Benign Prostate Hypertrophy (BPH) merupakan penyebab terbanyak dari nokturia pada pria. Beberapa penyebab lainnya natar lain Overactive Bladder, infeksi saluran kemih (ISK), hipersensitivitas pada buli, batu saluran kemih, kanker, aktivitas berlebih dari sistem neurogenik otot detrusor, diabetes, polidpsi, insufisiensi renal, penggunaan diuretik, dan berbagai penyebab lainnya.34 Penggunaan obat-obatan untuk menekan nokturia pada populasi lanjut usia cukup terbatas, desmopressin dapat berkaitan pada hipernatremia, sedangkan penggunaan antimuskarinik seperti oxybutynin dan tolterodine dapat menimbulkan efek samping antikolinergik.35
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
            Risiko terjadinya PPOK akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Pasien dengan PPOK berisiko untuk mengalami hiperkapnea dan hipoksemia saat tertidur.36 Diperkirakan bahwa lebih dari setengah populasi pasien dengan PPOK derajat sedang-berat memenuhi kriteria diagnosis dari OSA, yang mana hal ini akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasien. Penggunaan obat-obatan hipnotik pada pasien dengan PPOK dapat sangat berbahaya dimana hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya hipoventilasi, penurunan respon kewaspadaan, hiperkapnea dan hipoksia, serta meningkatnya risiko apnea.37 Pemberian agonis reseptor melatonin, ventilasi mekanis, serta terapi kognitif dan tingkah laku dapat menjadi alternatif terapi yang aman digunakan pada pasien PPOK dengan episode gangguan tidur.
Nyeri Kronik
            Nyeri kronik merupakan hal yang sering dialami oleh populasi pasien usia lanjutdan berubungan dengan artritis, neuropati perifer, penyakit spinal degeneratif, serta penyakit lain terkait tulang dan sendi. Gangguan tidur sering dijumpai pada kelompok pasien dengan nyeri kronik. Pasien dengan intensitas nyeri yang tinggi sering melaporkan peningkatan periode laten dari tidur, penurunan durasi tidur serta peningkatan frekuensi terbangun dari tidur bila dibandingkan dengan kelompok pasien dengan intensitas nyeri yang rendah.38 Terapi nyeri kronik pada pasien usia lanjutcukup sulit, dikarenakan efek samping yang sering muncul dari pemberian obat, kendati demikian, manajemen nyeri yang efektif dapat memperbaiki kualitas tidur pada pasien usia lanjut.
Obat-Obatan yang Dapat Mempengaruhi Tidur
            Efek samping dari penghambat asetilkolinesterase yang digunakan sebagai lini terapi pada pasien dengan AD ialah mimpi yang terlihat nyata dan mimpi buruk, hal ini berkaitan dengan pemendekan fase laten tidur REM, peningkatan densitas fase REM, serta peningkatan durasi tidur fase REM.39 Penggunaan obat-obatan penghambat beta adrenergik berhubungan dengan supresi sekresi dari melatonin yang mana hal tersebut berdampak pada insomnia. Pseudoefedrin, suatu amin simpatomimetik yang digunakan untuk dekongestan nasal pada kasus rinitis alergi atau commmon cold, lebih sering berhubungan dengan kejadian insomnia dibandingkan dengan agen dekongestan lainnya. Kortikosteroid, medikamentosa yang sering diresepkan pada pasien dengan reaksi alergi, immunologi dan gangguan respirasi juga dapat menyebabkan terjadinya delirium dan insomnia.40. Penggunaan diuretik walaupun tidak menyebabkan gangguan pada sleep architecture, namun dapat menyebabkan insomnia sebagai akibat proses miksi berulang saat malam hari.


Pendekatan Terapi Non Farmakologis
Seriring dengan peningkatan risiko dan polifarmasi dari pemberian obat-obatan pada populasi lanjut usia, pendekatan terapi non farmakologis kini menjadi lini pertama dari gangguan tidur.
Cognitive Behavioral Theraphy (CBT)
Penggunaan CBT untuk insomnia telah dipelajari pada populasi dewasa tuaberdasarkan hipotesis dari insomnia yang terjadi sebagai akibat keyakinan yang bersifat disfungsional dan akibatnya terhadap aktivitas/kehidupan sehari-hari. Tujuan dari CBT ini ialah mengidentifikasi, menganalisis dan mengubah keyakinan tersebut.41
Sleep Hygiene
            Sleep Hygiene merupakan tekhnik edukasi dimana pasien diajarkan tentang efek dari pengaruh lingkungan dan tingkah laku terhadap tidur, demikian pula dengan ekspektasi yang beralasan terkait dengan pengaruh umur individu dan faktor komorbiditas terhadap tidur. Berbagai aspek dalam terapi ini antara lain menghindari konsumsi kafein dan nikotin 6 jam sebelum tidur, menghindari konsumsi alkohol dan makan-makanan berat saat mau tidur, menghindari aktivitas fisik berat saat mau tidur, meminimalisir paparan cahaya, temperatur panas dan kebisingan saat tidur.42
Kontrol Stimulus
            Tujuan dari kontrol stimulus ialah pengaturan ulang dari hubungan antara tempat tidur dan proses tidur itu sendiri. Pendekatan dari kontrol stimulus antara lain menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan berhubungan seks, pergi ke tempat tidur hanya bila kelelahan, keluar dari tempat tidur bila tidak dapat tertidur dalam 20 menit, serta bangun secara rutin pada waktu yang sama tiap harinya.43
Restriksi Tidur
            Pendekatan ini sebagai terapi insomnia meliputi pembatasan waktu tidur saat malam hari dan siang hari, dengan mengobservasi banyaknya waktu yang dihabiskan pasien di tempat tidur, pasien kemudian diatur mengenai jadwal/pola tidur dan berusaha untuk mempertahankan waktu tidur tersebut.44
Pendekatan Terapi Farmakologis
Melatonin
Pada pasien lanjut usia melatonin dapat menyebabkan penurunan periode latensi dari tidur, penurunan keadaan terjaga saat tidur, dan pergerakan ketika tidur. Terdapat bukti bahwa pemberian melatonin pada pasien yang terdiagnosis demensia dapat mengurangi gejala sundowning. Rekomendasi terkini dari penggunaan melatonin untuk gangguan tidur pada usia lanjut ialah penggunaan dosis terendah mungkin dalam bentuk formulasi Immediate Release sehingga dapat menyerupai sekresi fisiologis normal.45
Trazadone
            Trazadone merupakan agen anti insomnia yang sering digunakan baik pada pasien dengan atau tanpa depresi. Berbagai efek samping yang dapat terjadi pada populasi usia lanjut antara lain sedasi, dizziness, hipotensi ortostatik, aritmia, priapismus, dan ganggguan psikomotor. Trazadone relatif dapat ditolerir dibandingkan agen sedasi lainnya dan dapat menurunkan risiko dari efek antikolinergik pada jantung.46
Benzodiazepin
            Kelompok usia lanjut memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap efek samping dari benzodiazepin, yang meliputi efek toleransi, penolakan, sedasi berlebihan, gangguan kognitif, dan risiko terjatuh. Rekomendasi penggunaan benzodiazepin pada usia lanjut meliputi penggunaan jangka pendek, dosis rendah, serta dianjurkan untuk menggunakan preparat obat dengan waktu paruh yang singkat.47
Hipnotik Nonbenzodiazepin
            Hipnotik non benzodiazepin seperti zolpidem, zaleplon, zopiclon, eszopiclon, merupakan obat yang sering digunakan pada kasus insomnia pada semua kelompok umur. Data penelitian yang tersedia menunjukkan penggunaan terapi ini dapat memperbaiki periode latensi dari tidur, kualitas tidur dan secara umum dapat ditolelir dengan baik pada kelompok usia lanjut.48
Antidepresan Sedatif
Antidepresan sedatif kadang digunakan sebagai terapi pada pasien dengan insomnia, terutama bila insomnia terjadi bersamaan dengan depresi. Antidepresan trisiklik kadang digunakan pada kasus tersebut, kendati demikian, pada populasi pasien usia lanjut, terapi ini memiliki efek samping yang cukup besar, meliputi mulut terasa kering, hipotensi postural, aritmia, peningkatan berat badan dan sempoyongan. Mirtazapin menunjukkan efek perbaikan dari efikasi tidur dan total durasi tidur pada pasien dengan depresi. Kendati demikian, data yang mendukung penggunaan mirtazapin pada gangguan tidur yang terjadi pada pasien nondepresi sangat sedikit.48
RINGKASAN
            Gangguan tidur pada usia lanjut memiliki tantangan tersendiri dalam mendiagnosis dan memberikan terapi. Penanganan gangguan tidur bersifat kompleks oleh karena resiko dari efek samping obat pada pendekatan farmakologis, sehingga pendekatan non farmakologis lebih diutamakan bila memungkinkan.

Readmore »

Jumat, 29 September 2017

BENJOLAN PADA LEHER

         Pasien sering bertanya tentang keluhan benjolan pada leher. Terkadang benjolan tersebut sangat membuat pasien khawatir. Apalagi pada zaman sekarang informasi yang beredar begitu luas dan semua orang bisa mengakses berbagai informasi, sehingga pasien mengetahui apa dampak yang terjadi jika benjolan tidak diobati.
       Kali ini saya mencoba menjabarkan bagaimana menghadapi keluhan benjolan pada leher.
Ada beberapa penyebab benjolan pada leher, misalnya infeksi dan tumor. Infeksi dapat berupa abses, selulitis, limfadenitis (peradangan pada kelenjar getah bening). Tumor dapat berupa tumor jinak dan tumor ganas (keganasan kelenjar getah bening).
      Perlu diketahui ada beberapa bagian tubuh yang terdapat pada leher. Ada kelenjar getah bening, ada kelenjar tiroid, pembuluh darah, trakea, dan tulang servikal. Namun, yang paling sering adalah benjolan yang berasal dari kelenjar getah bening dan yang berasal dari kelenjar tiroid.
    Untuk mengatahui lebih pasti apa jenis penyebab benjolan tersebut, perlu diketahui, benjolan tersebut berasal dari bagian tubuh yang mana pada leher. Misalnya untuk membedakan benjolan oleh karena pembesaran kelenjar tiroid, pasien disuruh menelan sambil benjolan diraba. Jika benjolan berasal dari kelenjar tiroid, biasanya benjolan tersebut berasal dari kelenjar tiroid. Sehingga, dipastikan lagi jenisnya apakah berupa nodul ataupun kista. Jika berupa nodul biasanya padat dan berbatas tegas, dan jika pada kista, perabaan dapat terasa lunak atau kistik. Kalaupun benjolan yang berasal dari kelenjar getah bening, maka benjolan tersebut biasanya tidak ikut gerak menelan.
   Pada benjolan yang berasal dari kelenjar getah bening, dapat disebabkan oleh infeksi atau peradangan saja, namun dapat juga disebabkan oleh keganasan kelenjar getah bening, misalnya limfoma maligna. Untuk lebih jelasnya biasanya, pasien dianjurkan oleh dokter untuk melakukan USG leher dan Aspirasi Jarum Halus (FNA/ Fine Needle Aspiration), ataupun biopsi.
      Pada benjolan yang berasal dari tiroid, dapat berupa nodul tiroid toksik dan non toksik. Jika nodul berupa nodul toksik artinya pasien pasien memiliki gejala-gejala klinis tirotoksikosis, berupa berdebar-debar, sering gemetar atau tremor, penurunan berat badan walaupun nafsu makannya tidak terganggu atau tinggi, dan jika diperiksakan hormon tiroidnya didapatkan hasil yang meningkat. Pada Nodul non toksik, biasanya tidak memiliki gejala, namun harus dipastikan benjolan jiank ataupun ganas. Oleh karena itu, biasanya dianjurkan untuk melakukan USG Tiroid, pemeriksaan hormon tiroid, dan FNA ataupun biopsi.
       Jika penyebab benjolan tersebut sudah ditegakkan, maka selanjutnya pasien akan diberikan terapi ataupun pengobatan yang sesuai dengan penyebab benjolan pada leher tersebut. Untuk lebih jelasnya, silahkan kunjungi dokter terdekat, untuk memastikan diagnosis dan pengobatannya.
Readmore »

TERAPI REHIDRASI ORAL SOLUTION PADA DEMAM BERDARAH DENGUE

I.  PENDAHULUAN

Dengue merupakan penyakit infeksi virus dengan perantara vektor nyamuk yang meluas sangat cepat di seluruh dunia. Dalam 50 tahun terakhir, insidensinya meningkat hingga 30 kali lipat disertai peningkatan ekspansi geografik ke negara-negara baru dan pada dekade ini, berkembang dari kehidupan perkotaan hingga pedesaan. Diestimasikan bahwa 50 juta infeksi dengue terjadi tiap tahunnya dan hampir 2,5 miliar individu yang tinggal di negara-negara endemik dengue.1

Gambar 1. Negara-negara yang berada dalam risiko transmisi penyakit dengue1

Hingga kini, tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, namun prinsip utama terapi adalah terapi suportif, utamanya terapi rehidrasi dengan pemantauan yang ketat. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap terjaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Dalam pemberian terapi cairan harus sesuai, bila kurang, akan berakibat terjadinya syok dan dapat tidak tertolong, dan bila berlebihan dapat menyebabkan volume overload.1,2,4
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dan sindrom renjatan dengue.2,4

I.1. Epidemiologi
            Insidensi dengue telah meningkat beberapa kali lipat dalam lima dekade terakhir pada tingkat yang perlu diwaspadai (Rajapakse, 2012). Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.2

I.2. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang merupakan anggota genus flavivirus, keluarga flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Virus ini memiliki 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.1-3
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).3

I.3. Patogenesis
Teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory).2


Gambar 2. Hipotesis Infeksi Sekunder 2

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.2,3

I.4.  Bahaya Demam Berdarah Dengue
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase perjalanan penyakit infeksi dengue, seperti berikut :
·         Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke fase demam/sejalan dengan proses penyakit.
·         Muntah yang menetap, tidak mau minum.
·         Nyeri perut hebat.
·         Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak.
·         Perdarahan:epistaksis, melena, hematemesis, menstruasi yang hebat, urine warna gelap (hemoglobinuria)/hematuria.
·         Pusing/perasaan ingin terjatuh.
·         Pucat, tangan-kaki dingin dan lembab.
·         Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam.5

I.5. Peranan Rehidrasi Oral
Larutan rehidrasi oral digunakan untuk penggantian oral elektrolit dan cairan pada pasien dengan dehidrasi. Dosis larutan rehidrasi oral harus disesuaikan dengan individu berdasarkan tingkat keparahan kondisi. Tujuan awal pengobatan adalah untuk merehidrasi pasien, dan selanjutnya, untuk mempertahankan hidrasi dengan mengganti kehilangan cairan  lebih lanjut. Harus diberikan sesering mungkin untuk orang-orang dengan mual dan anoreksia. Larutan rehidrasi oral atau jus buah dapat diberikan untuk mencegah ketidakseimbangan elektrolit.6
                  
II. FISIOLOGI CAIRAN TUBUH
II.1. Komposisi Cairan Tubuh

  Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan intraseluler adalah cairan yang berada di dalam sel di seluruh tubuh, sedangkan cairan ekstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu:cairan intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairan intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem vaskuler, cairan intersitial adalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan cairan transeluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna.7 

                                            Gambar 3 : Komposisi Cairan Tubuh Manusia 7

Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel. 2/3 bagian dari cairan tubuh berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan 1/3 bagian berada di luar sel (cairan ekstrasel/CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah yang meliputi 20% CES atau 15% dari total berat badan, dan cairan intersisial yang mencapai 80% CES atau 5% dari total berat badan. Selain kedua kompatmen tersebut, ada kompartmen lain yang ditempati oleh cairan tubuh, yaitu cairan transel. Namun volumenya diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi, cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll. Ion Na+ dan Cl- terutama terdapat pada cairan ektrasel, sedangkan ion K+ di cairan intrasel. Anion protein tidak tampak dalam cairan intersisial karena jumlahnya paling sedikit dibandingkan dengan intrasel dan plasma.7

II.2.  Pergerakan Cairan Tubuh
Cara Perpindahan Cairan Tubuh :
1.      Difusi.
Difusi merupakan bercampurnya molekul-molekul dalam cairan, gas, atau zat padat secara bebas atau acak. Proses difusi dapat terjadi bila dua zat bercampur dalam sel membran. Dalam tubuh proses difusi air, elektrolit dan zat-zat lain terjadi melalui membran kapiler yang permeabel. Kecepatan proses difusi bervariaasi tergantung faktor ukuran molekul, konsentrasi cairan, dan temperatur cairan.
2.      Osmosis.
Osmosis adalah proses perpindahan zat ke larutan lain, melalui membran semi permeabel biasanya terjadi dari larutan  dengan konsentrasi yang kurang pekat ke larutan dengan konsentrasi lebih pekat. Solut adalah zat pelarut, sedang solven adalah larutannya. Air merupakan solven, sedang garam adalah solut. Proses osmosis ini adalah penting dalam pengaturan keseimbangan cairan ekstra dan intrasel.
3.      Transpor Aktif.
Proses perpindahan cairan tubuh dapat menggunakan mekanisme transpor aktif. Transpor aktif merupakan  gerak zat yang akan berdifusi dan berosmosis. Proses ini penting untuk mempertahankan natrium  dalam cairan intra dan ekstrasel.8

II.3.   Peranan dan Fungsi Ion serta Elektrolit
Beberapa contoh kation dalam tubuh adalah Natrium (Na+),Kalium (K+), Kalsium (Ca2+), Magnesium (Mg2+). Sedangkan anion adalah Klorida (Cl-), HCO3-, H3PO4,SO4- Dalam keadaan normal, kadar kation dan anion  ini sama besar sehingga potensial listrik cairan tubuh bersifat netral. Pada cairan ektrasel(cairan diluar sel),  kation utama adalah Na+, sedangkan anion utamanya adalah Cl- Sedangkan di intrasel (di dalam sel) kation utamanya adalah kalium (K+). Disamping sebagai pengantar aliran listrik, elektrolit juga mempunyai banyak manfaat, tergantung dari jenisnya. Contohnya :
-          Natrium (Na+).
Fungsinya sebagai penentu utama osmolaritas dalam darah dan pengaturan volume ekstra sel. Ion natrium didapat dari saluran pencernaan, makanan atau minuman kemudian masuk ke dalam cairan ekstrasel melalui proses difusi. Pengeluaran ion natrium melalui ginjal, pernapasan, saluran pencernaan dan kulit. Pengaturan konsentrasi ion natrium dilakukan oleh ginjal, jika konsentrasi natrium serum menurun maka ginjal akan mengeluarkan cairan sehingga konsentrasi natrium akan meningkat. Sebaliknya jika terjadi peningkatan konsentrasi natrium serum maka akan merangsang pelepasan ADH sehingga ginjal akan menahan air. Jumlah normal 135-148 mEq/Lt.
-          Kalium (K+).
Fungsinya mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh. Kation yang paling banyak pada intraseluler. Ion kalium 98% berada pada cairan intasel, hanya 2% berada pada cairan ekstrasel. Kalium dapat diperoleh melalaui makanan seperti daging, buah-buahan dan sayuran. Jumlah normal 3,5-5,5 mEq/Lt.
-          Klorida (Cl-).
Fungsinya mempertahankan tekanan osmotik, distribusi air pada berbagai cairan tubuh dan keseimbangan anion dan kation dalam cairan ekstrasel.
-       Kalsium (Ca2+)
Kalsium merupakan ion yang paling banyak dalam tubuh, berguna untuk integritas kulit dan struktur sel, konduksi jantung, pembekuan darah, serta pembentukan tulang dan gigi.

-        Magnesium (Mg2+)
Merupakan kation terbanyak kedua pada cairan intrasel. Sangat penting untuk aktivitas enzim. Sumber magnesium didapat dari makanan seperti sayuran hijau, daging dan ikan.Nilai normalnya sekitar 1,5-2,5 mEq/lt.
-       Bikarbonat (HCO3ˉ ).
HCO3adalah buffer kimia utama dalam tubuh dan terdapat pada cairan ekstra sel dan intrasel dengan fungsi utama adalah regulasi keseimbangan asam basa. Natrium Bikarbonat diatur oleh ginjal.
-        Fosfat ( H3PO4).
Merupakan anion buffer dalam cairan intrasel dan ekstrasel. Berfungsi untuk meningkatkan kegiatan neuromuskular, metabolisme karbohidrat, pengaturan asam basa. Pengaturan oleh hormon paratiroid.9

III. PERANAN LARUTAN REHIDRASI ORAL (LRO).

III.1.   Pertukaran / Pergerakan Cairan dan Elektrolit Oral pada DBD
Pada Demam berdarah dengue, terbentuk kompleks antibodi dalam sirkulasi darah, terjadi pengaktifan sistem komplemen dan dilepaskannya anafilatoksin C3a, dan C5a, melepaskan histamin yang bersifat vasoaktif, permeabilitas dinding pembuluh darah yang menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.10

III.2.   Sumber Cairan Internal dan Eksternal
Cairan dalam tubuh terdiri dari 60% cairan yang berasal dari air (asupan cairan eksternal), 30% dari makanan padat, dan 10% dari hasil metabolisme di dalam tubuh. Cairan internal bersumber dari hasil katabolime glukosa yang memiliki produk akhir berupa karbondioksida dan air. Sedangkan sumber cairan eksternal berasal dari asupan cairan langsung dan air yang terkandung dalam bahan makanan, atau dari cairan yang diinfuskan secara intravena. 11
 Cairan eksternal terdiri dari cairan tubuh total :
1)      Cairan interstitiel: bagian cairan ekstra sel yang ada diluar pembuluh darah dan plasma darah.
2)      Cairan transeluler, cairan yang terdapat pada rongga khusus seperti dalam pleura, perikardium, cairan sendi, cairan serebrospinalis.11

III.3. Komposisi Larutan Rehidrasi Oral (LRO) yang Ideal
Tabel 1. Formula Larutan Rehidrasi Oral Menurut WHO dan      UNICEF, Desember 2006 : 12
Komposisi dalam Gram/Liter

%
Komposisi dalam mmol/Liter

Natrium Klorida
2,6
12.683
Natrium
75
Glukosa, anhidrat
13,5
65.854
Klorida                                          
65656  65
Kalium Klorida
1,5
7,317
Glukosa,anhidrat
75
Trisodium sitrat, anhidrat
2,9
14,146
Kalium
Sitrat
20
10
Total
20,5
100,00
Total Osmolaritas
245

Aspek yang paling penting adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Hal ini dilakukan dengan rehidrasi oral, yang harus dilakukan pada semua pasien, kecuali tidak dapat minum atau diare hebat yang membahayakan jiwa, maka memerlukan rehidrasi intravena. Idealnya cairan rehidrasi oral harus terdiri dari : 3,5 gram natrium klorida, 2,5 gram natrium bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida dan 20 gram glukosa/liter air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket yang mudah disiapkan dengan dicampur air. Jika sediaan dalam komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2-4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak merasa haus pertama kalinya.13
Adanya muntah bukan merupakan kontraindikasi pemberian ORS, kecuali jika ada obstruksi usus, ileus, atau kondisi abdomen akut, maka rehidrasi secara intravena menjadi alternatif pilihan. Defisit cairan harus segera dikoreksi dalam 4 jam dan ORS harus diberikan dalam jumlah sedikit tetapi sering, untuk meminimalkan distensi lambung dan refleks muntah. Secara umum, pemberian ORS sejumlah 5 mL setiap menit dapat ditoleransi dengan baik. Jika muntah tetap terjadi, ORS dengan NGT (nasogastric tube) atau NaCl 0,9% 20-30 mL/kgBB selama 1-2 jam dapat diberikan untuk mencapai kondisi rehidrasi. Saat pasien telah dapat minum atau makan, asupan oral dapat segera diberikan. Dehidrasi ringan biasanya cukup dengan mengkomsumsi banyak cairan ditambah dengan pemberian Cairan Rehidrasi oral (CRO) atau ORALIT. CRO diberikan sebanyak 15-20 ml/kgBB/jam. Untuk mengganti cairan yang hilang. Makanan tidak perlu dibatasi karena pemberian makanan akan mempercepat penyembuhan. 14
III.4. Sistem Skoring Menghitung Dehidrasi :
Derajat dehidrasi dapat dihitung dengan menggunakan skor WHO dibawah ini: 
                                                          Tabel 2. Derajat Dehidrasi : 15
Yang dinilai
SKOR
1
2
3
Keadaan umum
Baik
Lesu/haus
Gelisah, lemas, mengantuk hingga syok
Mata
Biasa
Cekung
Sangat cekung
Mulut
Biasa
Kering
Sangat kering
Pernapasan
< 30 x/menit
30-40 x/menit
> 40 x/menit
Turgor
Baik
Kurang
Jelek
Nadi
< 120 x/menit
120-140 x/menit
> 140 x/menit
        
         Skor :   6                     : tanpa dehidrasi
                7 – 12              : dehidrasi ringan-sedang
                      ≥ 13                 : dehidrasi berat.15


III.5. Indikasi Larutan Rehidrasi Oral :
LRO diindikasikan pada DBD dehidrasi ringan-sedang yang masih mampu mentoleransi asupan cairan peroral dan tanpa disertai muntah hebat. 16,17
III.6. Efek samping akibat penggunaan LRO :
Efek sampingnya bisa termasuk muntah, tingginya kadar natrium dan kalium dalam darah. Jika muntah terjadi disarankan agar penggunaan dijeda selama 10 menit dan kemudian dimulai secara bertahap. Formulasi yang dianjurkan mengandung sejumlah natrium klorida, natrium sitrat, kalium klorida, dan glukosa.18
IV. RINGKASAN
Larutan rehidrasi oral digunakan untuk penggantian oral elektrolit dan cairan pada pasien dengan dehidrasi. Dosis larutan rehidrasi oral harus disesuaikan dengan individu berdasarkan berat badan dan tingkat keparahan kondisi.
Pada Demam berdarah dengue, terbentuk kompleks antibodi dalam sirkulasi darah, terjadi pengaktifan sistem komplemen dan dilepaskannya anvilaktokain C3a, dan C5a, melepaskan histamin yang bersifat vasoaktif, permeabilitas dinding pembuluh darah yang menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Larutan Rehidrasi Oral : Natrium 75 mmol/L, klorida 65 mmol/L, glukosa anhidrat 75 mmol/L, kalium  20 mmol/L, dan sitrat 10 mmol/L = 245 mmol/L. Larutan rehidrasi oral seperti jus buah bisa diberikan untuk mencegah ketidakseimbangan elektrolit.
Adanya muntah bukan merupakan kontraindikasi pemberian ORS, kecuali jika ada obstruksi usus, ileus, atau kondisi abdomen akut, maka rehidrasi secara intravena menjadi alternatif pilihan.
Secara umum, pemberian ORS sejumlah 5 mL setiap menit dapat ditoleransi dengan baik. Jika muntah tetap terjadi, ORS dengan NGT (nasogastric tube) atau NaCl 0,9% 20-30 mL/kgBB selama 1-2 jam dapat diberikan untuk mencapai kondisi rehidrasi.
Readmore »